Prof. Dr. Supriyatna, Apt., “Jamu Banyak Tapi Masih Sedikit yang Jadi Herbal Terstandar”

Prof. Dr. Supriyatna, Apt (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 26/08/2014] Masyarakat Indonesia patut bersyukur dikaruniai Tuhan dengan berbagai tanaman obat yang berlimpah. Tak heran para nenek moyang kita banyak mewariskan berbagai ramuan pengobatan tradisional dalam bentuk jamu-jamuan. Sayangnya dari berbagai ramuan jamu yang kita miliki tersebut, baru sedikit sekali yang telah memenuhi standar yang telah ditentukan.

Prof. Dr. Supriyatna, Apt (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Prof. Dr. Supriyatna, Apt (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Guru besar Fakultas Farmasi Unpad, Prof. Dr. Supriyatna, Apt., mengatakan, Indonesia memiliki sekira 1600-an jamu warisan nenek moyang. Jamu-jamuan tersebut masih merupakan racikan asli tanpa penelitian dan pengujian lebih lanjut. Dari jumlah tersebut, baru sekira 30-an diantaranya yang telah ditetapkan sebagai obat herbal terstandar. Maksudnya, jamu tersebut telah distandardkan sifat-sifat fisika dan kimianya serta memiliki aktivitas farmakologi dengan binatang percobaan.

Selanjutnya, dari jumlah tersebut, baru sekira 10 obat herbal terstandar yang kemudian ditingkatkan lagi menjadi fitofarmaka yaitu jamu yang sudah dicobakan kepada manusia, telah diuji klinik, sehingga setara dengan obat sintetik. “Jumlah ini pun belum menyentuh penyakit-penyakit yang banyak diderita masyarakat. Baru untuk kebugaran, stamina, kecantikan dan sejenisnya,” tutur guru besar Farmakognisi dan Fitokimia tersebut saat diwawancarai beberapa waktu yang lalu di kampus Fakultas Farmasi Unpad, Jatinangor.

Prof. Supriyatna menjelaskan bahwa sedikitnya jumlah jamu yang telah menjadi fitofarmaka tersebut dikarenakan mahalnya biaya penelitian dan pengujian jamu-jamu tersebut, hingga menyebabkan harga jualnya meningkat tajam. Saat ini belum banyak pengusaha jamu yang mau mengeluarkan biaya sebesar itu untuk pengujian produk-produk mereka sehingga setara dengan obat sintetik. Selain itu, lanjut Prof. Supriyatna, dokter-dokter kita pun masih jarang memberikan jamu fitofarmaka tersebut kepada pasien-pasiennya.

Jamu-jamuan sendiri lebih banyak digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan alternatif. Dalam pengobatan konvensional, dokter lebih memilih obat sintetis daripada jamu fitofarmaka. Menilai hal tersebut, Prof. Supriyatna mengatakan perlu adanya ketegasan politis dan pemasaran yang baik untuk meningkatkan pamor jamu Indonesia. “Perlu ada orang kuat dari sisi regulasi, seperti Menteri Kesehatan yang memiliki wewenang tersebut,” ujarnya.

Obat sintetis sendiri awalnya diproduksi negara Barat karena mereka tidak memiliki hutan yang sekaya hutan Indonesia. Karena pemasaran mereka yang kuat, bangsa Indonesia yang sejak dahulu lebih banyak menggunakan jamu-jamuan, ikut-ikutan bergeser menggunakan obat sintetis. Tidak seperti jamu tradisional masyarakat Cina dan India yang berhasil menembus pasar internasional dan banyak dipasarkan di berbagai negara termasuk di Indonesia. Belum lagi hutan-hutan kita pun ikut-ikutan dihabisi sehingga keanekaragaman hayatinya semakin berkurang.

Baru memasuki awal tahun 2000-an, Presiden SBY membuat sebuah gebrakan dalam meningkatkan performa jamu tersebut. Melihat jamu itu memiliki kekuatan tinggi, ia lalu mencanangkan program Saintifikasi Jamu (SJ). Saat ini menurut Prof. Supriyatna baru ada sekira 4 macam SJ untuk penyakit diabetes, hipertensi, kolesterol dan asam urat.

Berkaca pada hal tersebut, selain dari unsur regulasi, political will dan pemasaran yang baik, Prof. Supriyatna pun menjelaskan pentingnya peran akademisi dalam pengembangan penelitian jamu ini. Dari sekian banyak perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki jurusan atau fakultas farmasi, sebaiknya fokus mengembangkan 1600-an jamu tersebut. “Dari jumlah tersebut dibagi ke setiap jurusan farmasi di Indonesia untuk diteliti dan dikembangkan lebih jauh. Jadi jangan sampai ada duplikasi penelitian,” ujar dosen kelahiran Bandung, 2 Maret 1945 ini.

Selain itu, pengembangan jamu dari sisi akademik juga dapat dilakukan melalui program sister university dengan universitas di negara lain yang juga aktif mengembangkan penelitian di bidang obat herbal ini. Selain itu pola kerja sama lainnya adalah melalui program ABG yaitu, Academic-Business-Government, yang melibatkan pengusaha dan pemerintah.

Saat ini, jamu-jamuan masih banyak ditemukan dijual bebas tanpa jelas kandungannya. Sejatinya, jamu-jamuan tersebut murni menggunakan bahan alami. Namun pada kenyataannya banyak pengusaha jamu yang mencampur dengan bahan sintetis yang justru memiliki efek samping yang merugikan penggunanya. Cara kerja jamu memang lebih lamban dari pada obat sintetis. Sehingga banyak pengusaha jamu yang menambahkan bahan kimia/sintetis untuk mempercepat reaksinya. Untuk itu, Prof. Supriyatna senantiasa mengingatkan pentingnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai penggunaan jamu tersebut.

“Selain mengetahui kandungannya, perhatikan juga kode yang tercantum pada kemasan jamu tersebut, seperti TR untuk obat tradisional. Yang lebih penting, belilah di apotik atau toko obat yang teregistrasi, jangan membeli jamu di sembarang tempat,” tutur mantan Dekan FMIPA Unpad periode 1995-2001 ini.

Laporan oleh: Marlia / eh *

Share this: