Prof. Dr. Moelyono Moektiwardoyo, M.S, Apt, “ Kita Semestinya Jadi Pelopor Obat Alam, Bukan Mengejar Obat Kimia Sintetis”

Prof. Moelyono (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 11/08/2015] Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, semestinya dapat membuat negara ini menjadi pelopor  di sektor obat alam. Namun yang terjadi  saat ini, bukannya menjadi trendsetter, Indonesia malah lebih sering  menjadi follower negara luar dalam menciptakan obat-obatan kimia sintetis.

Prof. Moelyono (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Prof. Dr. Moelyono Moektiwardoyo, MS., Apt. (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Menurut dosen Fakultas Farmasi Unpad, Prof. Dr. Moelyono Moektiwardoyo, MS, Apt, industri obat sintetis bukanlah bidang unggulan Indonesia. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia malah belum banyak dioptimalkan sebagai obat-obatan, padahal Indonesia bisa menonjol di sektor itu.

“Sekarang kita ngejar industri. Padahal lahan kita bukan disitu. Biarkan negara orang main dengan industri, kita tetap pegang apa yang dikaruniakan kepada kita, alam. Kenapa kita musti tinggalkan,” ujar Guru Besar Kimia Farmasi Bahan Alam ini.

Bukannya diberdayakan, lahan hijau luas yang dimiliki Indonesia malah semakin berkurang, hutan pun banyak digunduli. Akibatnya, Indonesia bisa terpuruk. “Karena memang kita meninggalkan yang kita punya, mengejar yang orang sepertinya hebat,” tutur Prof. Moelyono.

Prof. Moelyono bahkan meyakini bahwa Indonesia bisa lebih hebat dibanding Cina jika berbicara mengenai obat alam. Hal tersebut dikarenakan Indonesia memiliki alam yang lebih kaya.

“Jadi buat apa kita mengikuti tren negara luar? Kita lah yang harus menjadi trendsetter. Masalahnya, bukan enggak bisa. Enggak mau,” ujar pria kelahiran Banjar, 11 Januari 1950 ini.

Meski industri obat herbal di Indonesia sudah mengalai perkembangan, Prof. Moelyono mengatakan bahwa saat ini, pengobatan herbal di Indonesia masih dianggap kelas dua. Bahkan banyak akademisi yang menyatakan obat herbal itu tidak aman. Padahal, obat herbal sudah digunakan nenek moyang turun temurun sebelum muncul industri obat sintetis.

“Logikanya gini, kalau nenek moyang sakit, makan tumbuhan ‘A’ lalu dia mati, berikutnya enggak ada yang pakai lagi. Tapi kalau sembuh, terus turun temurun. Berarti sudah teruji kan? Aman kan? Kenapa disebut tidak aman? Kalau disebut katanya tidak ada uji klinik, itu uji kliinik, langsung ke manusianya,” paparnya.

Prof. Moelyono pun menjelaskan bahwa obat itu harus memilihi dua syarat, yakni effective dan efficacy. Obat herbal, memiliki dua syarat tersebut.  Obat herbal juga bukan hanya dapat menyembuhkan, tetapi juga menjaga kesehatan secara menyeluruh.

Ada empat mekanisme dari obat herbal. Pertama adalah detoksifikasi, pengeluaran racun dari tubuh, biasanya dari urin dan keringat. “Artinya racun yang ada dalam tubuh kan keluar. Dan itu tidak bisa sehari. Tidak bisa satu kali makan. Itu kira-kira makan waktu seminggu,” jelas Prof. Moelyono.

Setelah detoksifikasi, selanjutnya adalah melancarkan peredaran darah. Dengan demikian, peredaran darah diperbaiki untuk juga mempermudah peredaran obat. Mekanisme ini bukan hanya sebagai penyembuhan penyakit, tetapi juga dapat menjaga tubuh dari berbagai penyakit lain.

Mekanisme ketiga adalah perbaikan pencernaan. Selain diperbaiki, juga untuk mencegah datangnya penyakit lainnya.  Setelah diperbaiki, maka tubuh pun siap untuk mekanisme selanjutnya, yaitu repairing atau treatment.

Prof. Moelyono menjelaskan bahwa masing-masing tahapan tadi memakan waktu kira-kira seminggu. “Jadi obat herbal itu enggak pernah ada yang sehari,  atau 3 hari. Biasanya satu bulan karena lebih menyeluruh,” ujar mantan Pembantu Dekan III Fakultas Farmasi Unpad ini.

Melalui herbal, Prof. Moelyono juga mengajak masyarakat untuk hidup sehat. Ia pun menekankan bahwa yang terpenting bukanlah menyembuhkan penyakit, tetapi menjaga pola hidup untuk tetap sehat.

“Memang pasti obat herbal menyembuhkan? Yang pasti tidak mencelakakan, Kalau obat sintetis bisa mencelakakan karena kadang bisa berkumpul di ginjal,” tutur Prof. Moelyono yang juga terlibat dalam penyusunan Farmakope Herbal Indonesia.

Prof. Moelyono pun menyayangkan masih belum banyaknya orang yang mendalami mengenai obat herbal di Indonesia. Mahasiswa Farmasi  pun belum banyak yang mau mendalami herbal, karena merasa mendalami obat sintetis  jauh lebih menguntungkan. Padahal, mendalami obat herbal pun bisa sangat menguntungkan.

Sejatinya, manusia yang berasal dari alam juga dapat kembali pada alam. Manusia dapat memelihara alam, juga dapat memanfaatkan apa yang sudah diberikan pada alam. Yang terpenting adalah tetap menghormati alam dan selalu belajar dari alam. “Saya merasa bagian dari alam yang tidak bisa keluar dari alam,” ucap Prof. Moelyono.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Share this: