Dr. Yanti Hermayanti, SKp. MNm., “Perlu Dukungan Agar Masyarakat Mampu Tingkatkan Pengetahuan Derajat Kesehatan Optimal”

[Unpad.ac.id, 29/04/2015] Meski sudah banyak program pemerintah untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu, kenyataan yang terjadi saat ini adalah angka tersebut masih tinggi malah cenderung meningkat. Menurut dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Unpad, Dr. Yanti Hermayanti, SKp. MNm, hal tersebut terjadi karena berbagai upaya tersebut belum menyentuh ke akar permasalahan yang sebenarnya.

Dr. Yanti Hermayanti, SKp.MNm. (Foto oleh: Dadan T.)*
Dr. Yanti Hermayanti, SKp.MNm. (Foto oleh: Tedi Yusup)*

“Kegiatan yang sudah dilakukan pemerintah itu lebih ke arah pemberi layanan, jadi bagaimana caranya supaya pelayanan ini cepat dan segera tertangani. Jadi baru dari sisi itu,” ujar dosen yang mendalami Keperawatan Maternitas ini saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (15/04) lalu.

Padahal, menurut Dr. Yanti, Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan kompleks yang menuntut perhatian danpengelolaan berbagai sektor secara menyeluruh untuk membantu meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat. Setiap warganegara melalui aktivitas dalam keluarga diharapkan mampu berkonstribusi dalam memelihara, menjaga lingkungan, meminimalkan masalah, menjaga diri sendiri beserta keluarganya agar dapat dipertahankan optimal.

Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan pemerintah bersama instansi terkait, tetapi sampai saat ini Indonesia belum mampu mengatasi masalah yang berhubungan dengan angka kematian ibu (AKI). Berdasarkan hasil survey Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012, telah terjadi peningkatan AKI dari 228 per 100.000 kelahiran menjadi 359 per 100.000 kelahiran, sedangkan target MDGs yang telah ditetapkan pada tahun 2015 diharapkan terjadi penurunan AKI dengan target 118 per 100.000 kelahiran. Kemenkes telah mendeteksi tiga sumber penyebab kematian adalah perdarahan, infeksi dan tekanan darah tinggi (eklampsi), dan bila diketahui secara dini, kematian tersebut akan dapat dicegah. Sebagian besar (82%) kematian terjadi pada usia 15-20 tahun.

Dr. Yanti berpendapat, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu tersebut adalah karena para ibu banyak yang terlambat mengenal (gejala). Padahal, banyak kematian ibu yang diakibatkan oleh penyebab-penyebab yang sifatnya bisa dicegah dan ditangani apabila sudah dikenali sejak awal.

Misalnya adalah pada pasien anemia, saat ini sebenarnya sudah dapat diintervensi dengan pemberian obat gratis di Puskesmas. “Tapi pengontrolan terhadap apakah obat itu diminum sama ibu, apa yang menyebabkan obat tersebut berfungsi optimal, apa yang bisa mengurangi, pasien itu kan tidak diberi tahu, sehingga optimalisasi penggunaan obat tersebut tidak maksimal tercapai. Sehingga ibunya nanti kehamilan cukup bulan masih anemi,” ujar Dr. Yanti.

Dr. Yanti berpendapat, ketidakpedulian pun seringkali terjadi, baik itu dari pasien maupun petugas kesehatan. Dari sisi pasien, seringkali mereka tidak mau dan tidak mampu untuk mengenali apa yang terjadi pada dirinya, sehingga mereka tidak tahu persis apa yang seharusnya dilakukan bila terjadi sesuatu hal pada dirinya. Dari sisi petugas kesehatan, banyak yang lebih fokus pada tugas pokok dan fungsinya di unit masing-masing. “Maka dia tidak terjun ke kondisi yang terjadi di masyarakat,” ungkap perempuan kelahiran Bandung, 23 November 1964 ini.

Lebih lanjut Dr. Yanti memaparkan, berdasarkan hasil observasi ,wawancara, dan menyebarkan angket yang dilakukan terhadap pasien, keluarga dan petugas kesehatan didapatkan data bahwa sebagian besar ibu beserta keluarganya yang datang ke berbagai unit pelayanan baik di rumah sakit, puskesmas dan pos yandu, tidak mendapatkan informasi dan pendampingan optimal untuk meningkatkan keterampilan ibu beserta keluarga untuk mengenal tanda gejala yang bisa membahayakan ibu beserta bayinya dan bagaimana penanganan harus segera dilakukan.

“Fasilitas pendukung yang dapat mempermudah akses di berbagai tempat masih sangat terbatas. Sistem pelayanan yang diberikan belum menyentuh berbagai aspek yang sangat diperlukan untuk mempertahankan kondisi ibu dan bayinya optimal, sehingga kemampuan membuat keputusan tepat belum disiapkan. Berbagai masalah lainnya yang dapat memperberat kondisi kehamilan belum dapat diatasi secara menyeluruh sehingga bila dibandingkan dengan penanganan dan pengelolaan yang dilakukan oleh negara lainnya masih sangat jauh perbedaannya,” ujar Dr. Yanti.

Diberbagai negara maju, lanjut Dr. Yanti, standar pelayanan minimal bagi para ibu diuat dengan sistem pelayanan yang bisa menjamin mutu layanan serta mampu memberikan informasi dan pendidikan adekuat terhadap ibu beserta keluarganya sehingga ada kondisi tertentu, yang bisa terjadi kapan saja, dapat dikenali secara dini dan keluarga segera mengontak ke petugas kesehatan setempat, lalu penanganan segera dapat dilakukan.

“Sistem rujukan juga telah tertata dengan baik sehingga informasi dari satu tempat pelayanan dengan tempat pelayanan lainnya sudah tertata optimal. Dengan begitu akses masyarakat untuk segera dilakukan tindakan dipermudah dengan bantuan petugas,” paparnya.

Bahkan, pendidikan atau pembekalan kesehatan reproduksi seharusnya sudah didapat oleh calon pasangan suami istri sebelum mereka menikah. Dr. Yanti pun menyarankan diperlukannya ners di KUA sebagai bagian pembekalan kepada mereka yang akan menikah. Dr. Yanti juga menegaskan bahwa seharusnya peran perawat adalah turut meningkatkan kualitas hidup pasien. Targetnya bukan hanya ibu yang sedang hamil, tetapi juga suami, orang tua, dan anak yang akan dipersiapkan menjadi kakak (jika ada).

Holostic Adaptive Care Model
Dr. Yanti sendiri telah mengembangkan Holistic Adaptive Care (HAC) model sebagai solusi praktis bagi pelayanan keperawatan Indonesia. Model ini dibuat karena ia melihat dari sistem pelayanan yang ada saat ini dan dari sisi kebutuhan dari pasien, ternyata Indonesia belum memilki pola pendekatan sendiri. Saat ini lebih banyak menggunakan model-model yang dikembangkan oleh ahli dari luar negeri yang belum tentu sesuai dengan kondisi riil yang terjadi di lapangan.

Model HAC dibuat berdasarkan berbagai hasil penelitian, baik yang dibutuhkan pasien beserta keluarganya, serta pelayanan yang diperlukan khususnya bagi perawat. Pilot projek dilakukan di Bandung dengan melibatkan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit jejaring dan terbukti dapat membantu meningkatkan kemampuan adaptasi pasien beserta keluarganya.

Dalam model tersebut, diungkapkan bagaimana perawat dapat mengadaptasikan pasien terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Misalnya, dari remaja menjadi dewasa, dari tidak hamil menjadi hamil, dan sebagainya. Seharusnya, dalam menjelang proses perubahan ini diperlukan ada pendamping, dan ners dapat berperan disitu.

Persiapan pun perlu dilakukan secara holistik. Sementara saat ini, pelayanan lebih banyak diarahkan ke arah fisiknya saja. Seharusnya, pelayanan kesehatan diberikan dari berbagai sisi, mulai dari fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

Saat ditanya mengapa mendalami ilmu keperawatan maternitas, Dr. Yanti menjawab karena melalui ilmu ini ia sekaligus dapat mempelajari tentang kehidupan. “Jadi mulai dari zero sampai nanti manula. Karena sistem reproduksinya sampai tidak berfungsi pun ada disitu. Nah di dalam keperawatan maternitas itu dipelajari mempelajari seseorang itu mulai konsepsi sampai ia mati,” ujar perempuan yang pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Kepeawatan Unpad (2005-2009) ini.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh                                                                                             

Share this: