Laili Rahayuwati, Dr.PH., Penggagas Desa Sehat Plus untuk Bantu Turunkan Stunting

Laili Rahayuwati, M.Kes., M.Sc., Dr.PH. (Foto: Dadan Triawan)*

[Kanal Media Unpad] Jaraknya hanya sekitar 13 kilometer dari batas timur Kota Bandung, ibu kota Jawa Barat. Namun, Desa Sukamulya di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, masih jauh dari kata sejahtera. Kemiskinan, stunting, hingga masalah literasi huruf masih ditemukan di wilayah ini.

Kondisi ini menggugah Dosen Departemen Keperawatan Komunitas Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Laili Rahayuwati, M.Kes., M.Sc., Dr.PH., untuk melakukan pemberdayaan masyarakat di Desa Sukamulya. Sadar bahwa lokasi desa tersebut juga tidak jauh dari kampus Unpad, Laili berpikir bahwa akademisi harus terjun berkontribusi menyelesaikan permasalahan ini.

Melalui pendanaan program Matching Fund-Kedaireka pada 2022 lalu, Laili melakukan program pemberdayaan masyarakat bertajuk “Desa Sehat Plus” di Desa Sukamulya. Program yang dilakukan bukan sekadar berfokus di sisi kesehatan, tetapi juga mendorong peningkatan ketahanan pangan dengan mengoptimalisasi lahan tidak produktif menjadi warung hidup bagi masyarakat.

Awal Mula

Kondisi Desa Sukamulya pertama kali diketahui Laili melalui observasi yang dilakukan di 2020. Bekerja sama dengan BKKBN saat itu, Laili menemukan bahwa Desa Sukamulya masih memiliki angka kejadian stunting yang tinggi. Kesadaran masyarakat terhadap pola makan dan pola asuh yang tepat juga masih rendah. Jika dibiarkan, kemungkinan akan menurunkan produktivitas ke generasi berikutnya.

“Saya ingat ada satu statement dari pihak desa bahwa kesadaran stunting di masyarakat sudah pasti tidak ada, karena untuk personal hygiene saja mereka tidak lakukan,” kenang Laili.

Secara ekonomi, sebagian masyarakat Desa Sukamulya masih terkendala dalam menghidupi kebutuhan sehari-hari. Rata-rata profesi masyarakat merupakan buruh tani atau buruh pabrik. Jangankan berpikir pendidikan yang layak, untuk makan sehari-hari pun warga masih kekurangan. Tidak heran jika masih banyak anak usia sekolah di desa tersebut yang belum bisa membaca.

Di sektor lingkungan, sampah dan sungai tercemar limbah menghiasi wilayah desa. Di sisi lain, Laili melihat banyak sekali lahan yang tidak produktif.

Melihat kondisi tersebut, Laili pun melakukan riset implementatif yang mengarah ke pemberdayaan. Fokusnya bagiaman meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan. Konsepnya berupa partispatory action research.

“Jadi apa kebutuhan mereka, kita lakukan pemberdayaan dan edukasi masyarakat beserta anak-anaknya,” ujar Laili.

Tantangan

Berkonsep Desa Sehat Plus, Laili tidak melakukan edukasi langsung mengenai cara mencegah stunting kepada masyarakat. Akan tetapi, ia berupaya memberikan contoh bagaimana cara meningkatkan derajat kesehatan. Singkatnya, ia berupaya melakukan program bottom up.

“Kalau dari sisi teori penyebab stunting, 10 persen genetis, faktor kedua itu sekitar 30 persen dari sarana layanan kesehatan. Sisanya, itu perilaku masyarakat dan lingkungan. Karena itu kita bidiknya dari komunitasnya dulu kalau bidiknya dari top down belum tentu masyarakat akan bergerak. Kalau edukasi sudah kemana-mana, di depan mereka. Ini, lo, contoh, lebih ke arah secara praktis,” paparnya.

Melihat beberapa lahan di desa tersebut tidak produktif, Laili mencoba mengoptimalkannya. Berhasil mendapat restu dari pihak desa, ia mulai menggarap tiga lahan kosong di tiga dusun tersebut.

Sayangnya, niat dan langkah Laili tidak berjalan mulus. Pembukaan lahan nirproduktif tersebut menyulut konflik kepemilikan lahan. Beberapa oknum desa meminta ganti rugi pada Laili karena dianggap menggunakan lahan tanpa izin.

“Saya ingat beberapa orang minta pertanggungjawaban, padahal itu tanahnya tidak terurus. Minta ganti rugi, segala macam. Pedenya saya sebagai perempuan, saya bilang, ‘saya tidak punya kepentingan apa-apa selain membantu masyarakat’,” kenang Laili.

Meski sejumlah warga lain sudah mendukung upaya Laili, ia pun memilih untuk mencari lokasi lain yang dianggap “aman” dari konflik. Secara bertahap, ia memanfaatkan lahan tersebut dengan membangun lahan hidroponik tanaman hortikultura, membangun kolam ikan, memperbaiki fasilitas publik untuk warga, hingga membangun sumur bor sebagai sumber air bersih untuk kolam ikan.

Pembangunan sumur bor tersebut didasarkan bahwa kualitas air di Desa Sukamulya, khususnya di sungai, sudah tercemar oleh limbah buangan industri. Seluruh pembangunan tersebut didanai oleh dana hibah Matching Fund-Kedaireka.

Laili juga yang pertama membelikan benih ikan untuk dibudidayakan warga. Tidak lupa, ia mengajak rekan sejawat dari fakultas lain, seperti Faperta, Fapet, FPIK, hingga Fikom dan FEB untuk berkontribusi memberikan penyuluhan kepada masyarakat.

Laili menjelaskan, upaya ini dilakukan sebagai embrio desa sehat. Masyarakat Desa Sukamulya diajak untuk memahami berbagai potensi yang ada di wilayahnya, seperti banyak lahan yang bisa dioptimalkan, untuk memenuhi kebutuhan pangan.

“Kalau mereka bertanam mereka gak usah mengeluarkan banyak uang untuk belanja. Mereka tidak usah selalu belanja untuk mendapatkan proteinnya,” kata Laili.

Terus Dikembangkan

Lahan Desa Sukamulta yang sudah disulap menjadi warung hidup oleh Laili dan tim. (Foto: dokumentasi pribadi)*

Perlahan tapi pasti, masyarakat Desa Sukamulya bisa menikmati hasilnya. Benih ikan yang dibudidayakan sudah bisa dinikmati masyarakat. Masyarakat pun sudah kembali membudidayakan benih ikan yang baru.

“Kalau dari sisi kader kecenderungan sudah mulai membaik. Hanya saja kalau untuk pengembangan, saya inginnya mereka bisa jadi desa maju dari sisi pertanian. Masih belum, karena masalah finansial,” ujar Laili.

Program selanjutnya yang akan dilakukan adalah membereskan masalah sampah secara mandiri. Tumpukan sampah di Desa Sukamulya bahkan telah menutupi jalan umum sehingga tidak bisa dilalui. Karena sulitnya akses, sangat jarang petugas mengangkut sampah ke wilayah tersebut.

Diakui Laili, pengembangan Desa Sehat Plus tidak bisa selesai hanya dalam waktu singkat. Butuh proses panjang untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat untuk bisa hidup lebih sehat. Karena itu, Laili bersedia untuk “kembali” ke Desa Sukamulya.

“Dapat hibah, gak dapat hibah saya akan (tetap) ke sana. Dengan adanya masyarakat yang sadar akan ketahanan pangan, itu bisa meningkatkan asupan nutrisi yang baik pada keluarga di masyarakat. Otomatis akan menurunkan risiko kehamilan stunting, dan lahirkan generasi muda yang sehat dan cerdas,” pungkasnya.*

Share this: