Dr. Suryani, SKp., MHSc, “Setiap Tahun, Penderita Gangguan Jiwa di Indonesia Terus Meningkat”

[Unpad.ac.id, 29/04/2013] Setiap tahun, jumlah penderita gangguan jiwa terus meningkat, baik gangguan jiwa berat maupun ringan. Namun sayangnya, masih sedikit yang memiliki perhatian terhadap kesehatan jiwa di Indonesia. Program promosi kesehatan jiwa di masyarakat pun masih belum banyak.

Dr. Suryani, SKp., MHSc (Foto oleh: Tedi Yusup / Humas Unpad)*

“Makanya diperlukan mental health nurses (perawat jiwa) di masyarakat yang melakukan promosi kesehatan, terutama kesehatan jiwa. Kalau sekarang kan belum banyak yang melakukan promosi kesehatan jiwa. Program dari pemerintah juga tidak terlalu fokus pada kesehatan jiwa ini,” tutur dosen Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) Unpad, Dr. Suryani, SKp., MHSc. saat ditemui beberapa waktu lalu di Kampus Unpad Jatinangor.

Dr. Suryani mengatakan bahwa stigma gangguan jiwa di Indonesia sangat kuat. Dengan adanya stigma ini, orang yang mengalami gangguan jiwa seakan terkucilkan. “Harusnya jangan dikucilkan. Justru kalau semakin dikucilkan, maka mereka akan semakin parah keadaannya. Harusnya mereka dirangkul, di support, dan jangan dikasih beban mental yang terlalu berat,” tutur dosen kelahiran Pariaman, 2 Februari 1968 ini.

Kebanyakan kasus, para penderita gangguan jiwa akut hanya dirawat dan diberi pengobatan di rumah sakit. Setelah membaik dan dipulangkan dari rumah sakit, kemudian tidak ada penanganan khusus lagi. Padahal menurut Dr. Suryani, penyakit gangguan jiwa merupakan sebuah journey of challenge, perjalanan yang penuh tantangan. Mereka sulit untuk langsung sembuh. Butuh proses yang panjang dalam penyembuhannya. Karena itu, butuh pendampingan yang terus menerus sampai pasien benar-benar kuat. Ketika sudah di rumah, dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar pun sangat dibutuhkan agar pasien bisa menjalani proses recovery (penyembuhannya).

“Idealnya, bagi pasien-pasien yang sudah dipulangkan ke rumah harus ada pelayanan lanjutan di Puskesmas. Kemudian ada juga support group diantara orang-orang dengan gangguan jiwa. Disitu mereka bisa saling berbagi pengalaman mereka dan itulah yang menguatkan mereka sebetulnya. Tentu dengan juga dibantu oleh perawat jiwa dalam membimbing mereka supaya bisa recovery dari penyakitnya itu. Sudah saatnya tenaga kesehatan mengaplikasikan konsep recovery dalam merawat pasien skizofrenia, agar dapat meyakini dan menghargai kemampuan individu untuk sembuh,” jelas Dr. Suryani.

Selain gangguan jiwa berat, juga ada gangguan jiwa ringan dimana kebanyakan masyarakat juga pernah mengalami, misalnya sedih, stres akibat berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari -hari seperti macet, beban pekerjaan yang menumpuk, dan sebagainya. Walaupun sifatnya ringan, Dr. Suryani mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak bisa dibiarkan. Gangguan jiwa berat kebanyakan berasal dari gangguan jiwa ringan yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus.

Ketika sedih misalnya, kita harus bangkit dan tidak larut dalam kesedihan. Ketika punya masalah pun sebaiknya jangan dipendam sendiri, melainkan dibicarakan dan diselesaikan. Selain itu, perlu juga dipahami mengenai mekanisme koping, yakni pertahanan diri sendiri ketika menghadapi masalah.

“Semua orang itu punya koping yang berbeda-beda. Yang bagus itu yang konstruktif, yaitu berfokus pada pemecahan masalah. Jadi kalau ada masalah ya fokusnya bagaimana mengatasi masalahnya itu. Jangan pada bagaimana mempertahankan ego kita sendiri (destruktif),” jelas Dr. Suryani.

Penulis buku “Komunikasi Terapeutik: Teori dan Praktik” ini juga menjelaskan, bahwa orang yang memiliki koping konstruktif akan memiliki jiwa yang sehat, sementara orang yang memiliki koping yang destruktif sangat rentan menderita gangguan jiwa.

“Di FIK Unpad, kami sering melakukan penyuluhan supaya mencegah gangguan jiwa di masyarakat. Bahkan mahasiswa juga kita ajak praktik di masyarakat. Jadi masyarakat tahu bagaimana mencegah supaya tidak mengalami gangguan jiwa, bagaimana kalau mengalami stres, bagaimana mengatasinya, itu kita lakukan penyuluhan-penyuluhan di masyarakat seperti itu,” ungkap perempuan yang pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Keperawatan Jiwa FIK Unpad (1996-2008) ini.

Dr. Suryani memang sudah tertarik menekuni bidang ilmu Mental Health Nursing semenjak ia masih kuliah program Sarjana di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (PSIK FKUI). Setelah lulus sarjana, ia kemudian melanjutkan pendidikan S2 (Master of Health Science) di bidang Mental Health Nursing di School of Nursing, Faculty of Health Science and Medicine, RMIT Melbourne (2001) dan Program Doktor, juga dibidang Mental Health Nursing di School of Nursing and Midwifery, Faculty of Health, Queensland University of Technology (QUT), Brisbane (2012).

“Setelah saya pelajari memang bagus. Saya jadi bisa memperbaiki hal-hal yang ada dalam diri saya dan saya sangat merasa beruntung menjadi seorang perawat jiwa. Saya jadi tahu bagimana cara menghadapi masalah, bagaimana kalau sedang stres. Anak-anak saya juga saya didik sesuai dengan ilmunya. Jadi keuntungannya dapat dirasakan tidak untuk diri saya sendiri, tapi juga untuk keluarga, dan masyarakat,” tutur Dr. Suryani yang pernah menjadi konsultan keperawatan di Rumah Sakit Jiwa Cimahi (2006-2008).

Dalam ilmu keperawatan jiwa, dipelajari bagaimana membantu pasien untuk bisa mandiri. Perawat jiwa melihat pasiennya itu secara holistik, yakni dari aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritualnya.

“Bagaimana supaya dia tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari, tetap mampu merawat dirinya sendiri, tetap mampu melakukan ibadah, tetap mampu melakukan sosialisasi, apakah dia bisa bekerja atau tidak, nah itu semuanya menjadi perhatian dari perawat jiwa. Jadi secara keseluruhan dari kehidupan seorang pasien itu kita perhatikan, termasuk quality of life-nya bagaimana,” jelasnya.

Kedepannya, Dr. Suryani berencana untuk membangun sejenis pusat penganggulangan stres (pusat relaksasi). Seseorang yang sedang mengalami masalah, stres, tegang, dan sebagainya dapat langsung mengunjungi tempat tersebut untuk relaksasi. Di tempat itu, masyarakat bisa melakukan terapi dan konsultasi untuk meredakan stresnya. Hal ini dilakukan untuk menekan angka gangguan jiwa di Indonesia. *

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh *              

Share this: