Dr. Atje Setiawan Abdullah, M.S., M.Kom., Selaraskan Budaya dengan Kemajuan Teknologi

[unpad.ac.id, 28/2/2019] Informatika tidak hanya berkaitan dengan teknologi informasi maupun komunikasi. Sebagai ilmu, informatika tentunya berperan dalam banyak bidang. Bahkan, informatika mampu menyentuh akar kehidupan manusia, yaitu budaya.

Dr. Atje Setiawan Abdullah, M.S., M. Kom. (Foto: Tedi Yusup)*

Di saat globalisasi perlahan mengikis budaya, informatika memiliki peran penting untuk melestarikannya. Hal inilah yang disadari dosen Teknik Informatika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Dr. Atje Setiawan Abdullah, M.S., M.Kom. Baginya, budaya harus tetap dipertahankan meski dihadapkan pada kemajuan zaman.

Sejak 2015, Dr. Atje dan tim fokus pada kajian onomastik atau pengetahuan tentang penamaan. Ia melakukan klasterisasi nama orang (antroponimi) dan nama tempat (toponimi) di Sunda. Proses ini menggunakan metode data mining atau proses mengekstrak pengetahuan dari suatu database yang besar untuk mendapatkan pola-pola yang menarik.

Terkait antroponimi, Dr. Atje meneliti eksistensi nama-nama khas Sunda, atau nama yang kerap dipakai oleh masyarakat Sunda sehingga dianggap mewakili unsur kesundaan. Pengelompokan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan nama khas Sunda dalam perkembangan kehidupan masyarakat sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Ada satu juta nama yang berhasil dikumpulkan Dr. Atje dan tim. Data ini diperoleh dari hasil observasi lapangan di Kabupaten Bandung. Wilayah Kabupaten Bandung dinilai menjadi wilayah yang merepresentasikan Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan.

“Dari sejuta data, ternyata nama-nama orang Sunda itu relatif menghilang selama 100 tahun,” kata Dr. Atje.

Secara singkat, klasterisasi pada data mining mencoba untuk mengelompokkan data sesuai dengan karakteristik yang diinginkan. Dr. Atje mengklasifikasi nama berdasarkan nama terbanyak digunakan, abjad huruf awal, nama baru, makna nama, hingga nama yang hilang.

Pada proses data mining tersebut, kata Dr. Atje, dilakukan beberapa tahapan, meliputi preprocessing, data mining, dan postprocessing. Tahap preprocessing meliputi pembersihan data, transformasi, penggabungan dan seleksi data. Tahap data mining meliputi penggunaan model untuk memproses data. Sementara tahap postprocessing meliputi visualisasi, interpretasi hasil pengolahan, dan knowledge.

Puncaknya hingga 2011, ada 6.308 nama yang hilang. Hilang di sini berarti sudah tidak ada orangtua yang memberikan nama seperti itu. Berdasarkan data nama yang telah diklasterisasi, nama orang seperti “Emeh” dan “Omoh” perlahan sudah tidak diberikan orangtua kepada anaknya sejak 30 tahun yang lalu.

Begitu pula nama “Manah”, “Atang” dan “Acih” intensitas penggunaannya cenderung menurun sejak 20 tahun lalu. Beberapa orang yang memiliki nama ini rata-rata berusia di atas 40 – 50 tahun. Sementara nama awal khas Sunda yang dianggap baru, seperti “Agus”, “Asep”, “Dede”, dan “Wawan” masih ada yang menggunakan tetapi cenderung menurun sejak 2001.

Ada yang hilang, ada pula yang berkembang. Dr. Atje menemukan, sebanyak 6.225 nama baru muncul di Sunda. Nama yang dianggap “modern” mulai disematkan sejak 30 tahun lalu.  “Kenapa dia (orang tua) memberi nama modern karena dipengaruhi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,” kata Dr. Atje.

Untuk toponimi, Dr. Atje telah memiliki database nama desa se-Indonesia. Di Jawa Barat, database ini telah diturunkan hingga ke nama-nama kampung. Data ini kemudian diproses berdasarkan kebutuhan penelitian selanjutnya.

Sekretaris Pusat Studi Etnosains FMIPA Unpad ini menjelaskan, nama wilayah bisa digunakan untuk merepresentasikan rekaman peristiwa, sejarah, lingkungan, hingga dinamika budaya. Bahkan, alasan penggunaan warna merah dan putih pada bendera Indonesia salah satunya bisa diungkap dari nama wilayah.

“Kenapa bendera kita merah putih, dengan melihat nama desa bisa terjawab. Ternyata nama desa di Indonesia itu kalau kita klasifikasikan berdasarkan warna, paling banyak putih dan merah. Bisa jadi orang Indonesia senang warna itu,” paparnya.

Seluruh data yang diperoleh telah diklasterisasi dalam aplikasi berbasis web. Aplikasi ini nantinya menyajikan data secara berkala (realtime). “Pengembangan ke depan akan berbasis data sains,” terangnya.

Etnomatematika

Tidak hanya etnoinformatika, Dr. Atje juga fokus terhadap kajian etnomatematika. Dr. Atje berupaya mengombinasikan aspek matematika secara ilmiah dengan budaya penghitungan matematika yang kerap digunakan di masyarakat.

Masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya masyarakat Sunda, ternyata sangat akrab dengan metode penghitungan tradisional. Jika matematika ilmiah menggunakan beragam rumus dan metode praktis, maka tradisi penghitungan matematika menggunakan pola-pola unik untuk menggambarkan jumlah, bilangan, hingga satuan waktu.

“Hal-hal yang dikaji dalam etnomatematika meliputi lambang, konsep, prinsip, dan keterampilan yang ada pada kelompok, bangsa, suku, atau kelompok masyarakat lainnya, serta perbedaan atau kesamaan matematis antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dan faktor yang ada di belakang perbedaan atau kesamaan tersebut,” papar Dr. Atje.

Dalam budaya Sunda, masyarakat secara turun temurun sudah terbiasa menggunakan perhitungan matematika secara simbolis yang digunakan sehari-hari. Perhitungan ini berkaitan dengan perhitungan satuan dasar, panjang, lebar, luas, berat, kelompok, dan waktu.

Sebagai contoh, untuk mengukur satuan panjang, masyarakat Sunda mengenal istilah sajeungkal yang berarti setara 20 cm, sadeupa berarti setara 1 meter, hingga sasiku atau setara 50 cm. Begitu pula untuk mengukur lebar, tinggi, luas, volume, waktu hingga kelompok semuanya memiliki istilah tersendiri.

Bahkan, Dr. Atje juga berhasil memetakan rumus penetuan waktu surut air laut berdasarkan model perkiraan nelayan di kawasan Pantai Santolo, Pamengpeuk, Garut.

“Hal ini memberikan gambaran bahwa masyarakat Sunda memiliki kemampuan etnomatematika yang baik, serta perlu disosialisasikan dan dipertahankan oleh generasi muda Sunda di masa mendatang,” kata Dr. Atje.*

Laporan oleh Arief Maulana

 

Share this: