Dr. Arry Bainus, MA, “Hubungan Internasional Bukan Melulu tentang Hubungan Antarnegara”

[Unpad.ac.id, 28/09/2015] Hubungan sipil dan militer yang demokratis di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Berbagai masalah seringkali terjadi karena masih adanya konflik kepentingan dari masing-masing pihak.

Dr. Arry Bainus, MA (Foto oleh: Tedi Yusup) *
Dr. Arry Bainus, MA (Foto oleh: Tedi Yusup) *

“Contohnya apa? Misalnya masih adanya partai politik yang menarik para prajurit TNI dan anggota Polri untuk masuk di kekuasaan (pemerintahan). Yang kedua, masih banyak merebak oknum-oknum TNI ataupun Polri yang ‘mengintimidasi masyarakat’ dan berhasrat untuk masuk ke ranah pemerintahan. Artinya apa? Reformasi baik di TNI dan Polri apalagi reformasi di tubuh partai politik dan DPR sendiri belum beres,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad, Dr. Arry Bainus, MA.

Menurut Dr. Arry, tidak semestinya anggota militer dan polisi yang aktif terlibat dalam pemerintahan, karena akan memunculkan konflik kepentingan. “Secara kelembagaan TNI dan Polri itu jelas harus berdiri di atas semua kepentingan. Terutama yang harus dia utamakan adalah kepentingan negara. Tapi kalau sampai masuk ke pemerintahan, ya dia sudah tidak lagi berdiri di atas semua elemen bangsa ini. Secara normatif, bila para prajurit TNI dan anggota Polri ingin masuk di pemerintahan, maka mereka harus menanggalkan seragamnya artinya mereka harus ke luar dari dinasnya dan menjadi sipil,” tambah dosen yang kini menjabat Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unpad.

Meski telah terjadi reformasi di tubuh militer dan polisi, Dr. Arry meyakini bahwa sebenarnya kultur militer di pemerintahan masih belum selesai. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti sipil yang masih belum siap dan membutuhkan “gantungan” dalam pemerintahan, serta anggota militer yang masih “genit” selalu ingin bermain di ranah politik praktis.

Ketidakberesan selanjutnya, adalah adanya konflik TNI dengan Polri. Dr. Arry kembali menyebutkan bahwa itu adalah masalah kepentingan. Ketika Polri dan TNI dipisah, tidak dipersiapkan secara psikologis dan peraturan pasca pelepasannya. Secara psikologis, Dr. Arry menyebutkan bahwa terjadi kecemburuan dari masing-masing lembaga, seperti masalah pendanaan dan struktur lembaga. Dari segi aturan, Dr. Arry pun menegaskan bahwa perlu adanya satu peraturan yang menaungi itu semua, yaitu melalui Undang-Undang Keamanan Nasional.

“Disatukan dalam satu peraturan. Ada Undang-Undang yang mengatur itu semua, sehingga grey areas di antara kedua institusi tersebut dapat diminimalisir. Harus dibuat juga aturan pelibatan TNI kepada Polri (rule of engagement).” tegas Dr. Arry.

Sementara yang ada saat ini, ada perbedaan Undang-Undang dari masing-masing lembaga tersebut. Pengaturan TNI, tercantum dalam UU Pertahanan Negara yang mengatur tentang fungsi dan UU TNI, sementara terkait Polri hanya diatur dalam UU Kepolisian Negara Indonesia yang lebih bersifat struktur, padahal seharusnya diatur pula tentang fungsi Polri yang menjalankan Penegakan Hukum dan Ketertiban Masyarakat.

“Harusnya kalau mau, kalau fungsi TNI yang menjalankan Pertahanan Negara, maka fungsi Polri yang menjalankan Penegakan Hukum dan Ketertiban Masyarakat pun diatur. Baru kemudian diturunkan pada Undang-Undang kelembagaan atau struktur keduanya (yaitu TNI dan Polri). Dan di atas semuanya terdapat Undang-Undang yang menaungi yaitu Undang-Undang Keamanan Nasional,” terang Dr. Arry.

Dr. Arry sendiri merupakan dosen Hubungan Internasional yang lebih memokuskan risetnya pada Studi Keamanan. Mendalami Studi Keamanan ini, Dr. Arry ingin lebih membumikan Ilmu Hubungan Internasional, terutama dengan menjembatani apa yang terjadi pada tataran internasional dengan tataran nasional.

“Saya ingin mencoba untuk membumikan Hubungan Internasional. Karena selama ini kalau orang berbicara tentang Hubungan Internasional itu kan sekaan-akan hanya dari luar (eksternal). Nah dengan menggunakan perspektif Ilmu Politik itu saya mencoba bumikan (down to earth) melalui Studi Keamanan, di mana bidang ini masih jarang dipelajari oleh orang,” ungkap pria kelahiran Bandung ini.

Dr. Arry pun menjelaskan bahwa kini paradigma mengenai keamanan sendiri telah bergeser (paradgim shift). Dulu, ada istilah “national security is state security”. Keamanan lebih bersifat negara dan keamanan negara adalah segalanya.

“Dulu yang namanya keamanan itu serba negara. Contohnya di Indonesia dulu pada waktu zaman Orde Baru, keamanan nasional itu berarti keamanan negara. Hal ini wajar, karena pada masa itu bersamaan pula dengan terjadinya perang dingin (cold war) antara blok Barat dan blok Timur pada tataran internasional,”jelasnya.

Sekarang, ketika perang antarnegara agak mereda, makna keamanan telah bergeser menjadi keamanan manusia (human security). Keamanan manusia meliputi keamanan pangan (food security), keamanan lingkungan (enviromental security), keamanan energi (energy security), dan keamanan kesehatan (health security) dan banyak lagi dimensinya.

“Jadi Studi Keamanan itu mulai dari studi tentang keamanan negara (state security) sampai keamanan manusia (human security). Bagi Indonesia, hal ini sudah jelas tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia (human security) dan seluruh tumpah darah Indonesia (state security). Saya sangat kagum dengan cita-cita dan sikap visioner the founding fathers negara kita,” ungkap Dr. Arry.

Dengan demikian, Dr. Arry menyebutkan bahwa Hubungan Internasional bukanlah melulu tentang hubungan antarnegara. Karena, saat ini telah terjadi pergeseran paradigma. Hubungan Internasional juga tidak selalu berbicara mengenai hubungan di luar negeri, tetapi juga berbicara mengenai kehidupan manusia sehari-hari.

“Pergeseran paradigma itu, yang tadinya serba hubungan antarnegara, sekarang sudah tidak lagi. Aktornya makin banyak, termasuk individu di dalamnya,” terang Dr. Arry.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Share this: