Dosen FKG Unpad Ungkap Relevansi Kebiasaan Menyirih dengan Timbulnya Pra-kanker dan Kanker Mulut

RSGM
RUmah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas Padjadjaran. (Foto: Dadan Triawan)*

Laporan oleh Arif Maulana

Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Elizabeth Fitriana Sari, drg., Sp.PM.

[unpad.ac.id, 8/10/2020] Menyirih merupakan salah satu kebiasaan yang kerap dilakukan masyarakat di wilayah Asia Tenggara. Meskipun dipercaya baik untuk menjaga kesehatan gigi, kebiasaan menyirih ternyata memiliki relevansi erat dengan timbulnya kanker dan pra-kanker mulut.

Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Elizabeth Fitriana Sari, drg., Sp.PM., melakukan studi secara detail mengenai komposisi kimia dari paket menyirih atau betel quid yang kerap digunakan masyarakat Indonesia.

Umumnya, paket sirih mengandung senyawa alkaloids seperti arecoline. Senyawa ini sering dikaitkan sebagai karsinogen atau zat yang dapat menyebabkan penyakit kanker.

“Telah banyak penelitian yang melakukan investigasi terhadap komponen sirih tersebut. Akan tetapi penelitian secara detail mengenai komposisi kimia dari paket menyirih ini belum ada, terutama paket menyirih dari Indonesia,” ungkap dosen yang akrab disapa Fitri ini.

[irp]

Kandidat Doktor di Melbourne Dental School University of Melbourne, Australia ini melakukan penelitian bersama dengan sejumlah peneliti lainnya, antara lain Grace Puspita Prayogo, Yit Tao Loo, Pangzhen Zhang, Michael John McCullough, dan Nicola Cirillo.

Sampel paket menyirih yang digunakan pada umumnya mengandung biji pinang (areca nut of Arecha catechu), daun sirih (betel leaf of Piper betel) atau bunga sirih (betel stem inflorescence of Piper betel), dan kapur (slaked lime).

Sampel yang diteliti berasal dari 4 daerah yang berbeda di Indonesia, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Papua Barat. Di empat lokasi ini, tradisi menyirih sudah dilakukan secara turun temurun.

Fitri menuturkan, studi dilakukan dengan meneliti secara detail aktivitas anti-oksidan komponen paket sirih melalui tes total phenolic content (TPC), ferric reducing antioxidant power atau FRAP, dan radical scavenging activity (DPPH test).

Selain itu, Fitri dan tim mengidentifikasi kadar polyphenolic dan arecoline yang terkandung di hampir semua komponen paket menyirih, seperti pada areca nut (biji pinang), betel leaf (daun sirih) atau betel stem inflorescence (bunga sirih), husk (kulit terluar pinang). Proses identifikasi menggunakan High performance liquid chromatography—Mass Spectrometry (LC–MS).

“Kami juga melihat perubahan komposisi kimia nya ketika dalam bentuk campuran pinang, daun sirih atau bunga sirih dan kapur,” tuturnya.

[irp]

Hasil penelitian menunjukkan, nilai tes TPC, FRAP, dan DPPH terdeteksi tinggi pada semua sampel biji pinang. Biji pinang dari Papua Barat memiliki konsentrasi yang paling tinggi di antara sampel lainnya.

Hasil identifikasi menggunakan LC-MS juga menunjukan bahwa kulit terluar biji pinang (husk) kaya akan berbagai jenis polifenol, termasuk hydroxybenzoic acids, hydroxycinnamic acids, flavanols, flavonols and stilbenes.

Katekin atau catechin dan epicatechin ditemukan sebagai polifenol dengan konsentrasi tertinggi berasal dari biji pinang Papua Barat. Sementara arecoline dapat terdeteksi di semua sampel biji pinang dan paket campuran siri dari 4 daerah.

“Secara signifikan arecoline positif berkorelasi dengan catechin dan epicatechin, serta signifikan negatif berkorelasi dengan  P-hydroxybenzoic acid. Kami juga membuktikan bahwa konsentrasi arecoline berubah secara signifikan ketika biji pinang dalam kondisi dicampur dengan kapur dan daun sirih/bunga sirih,” ujar Fitri.

[irp]

Derajat kematangan biji pinang juga berhubungan langsung dengan jumlah polifenol dan arecoline. Biji pinang mentah mengandung konsentrasi polifenol dan arecoline yang lebih tinggi dibanding dengan yang matang.

“Anjuran bahwa mengonsumsi biji pinang yang matang dapat menurunkan potensi pengembangan oral submucous fibrosis (salah satu pra-kanker mulut akibat menyirih) dan juga kanker mulut,” kata Fitri.

Singkatnya, hasil studi yang dilakukan Fitri dan tim terkait komposisi kimia dari paket menyirih di Indonesia yang berbeda dapat menginformasikan pengembangan strategi kemo-preventif untuk membedakan perkembangan oral submucous fibrosis.

“Misalnya mengonsumsi biji pinang tipe dewasa, menghindari sekam karena kandungan arecoline-nya yang tinggi, serta tidak menambahkan kapur mati, dapat menurunkan potensi pengembangan oral submucous fibrosis pada pengunyah sirih ,” pungkasnya.

Raih Prestasi

Penelitian berjudul “Distinct Phenolic, Alkaloid and Antioxidant Profile in Betel Quids from Four Regions of Indonesia” ini sudah dipublikasikan di jurnal internasional Nature Research Journals, pada 1 Oktober lalu.

Selain itu, lanjut Fitri, Penelitian ini telah dikompetisikan di tingkat Fakultas di Melbourne Dental School dan mendapatkan penghargaan “Colgate Travel” untuk dikompetisikan kembali pada pertemuan International Association of Dental Research” (IADR)se Asia Pasifik, Australia, dan Selandia Baru yang berlokasi di Brisbane, November 2019 lalu.

“Alhamdulillah, kami memenangkan Juara 1 untuk Senior Category. Dan direncanakan untuk mengikuti kompetisi worldwide untuk Hatton Award di Washington DC pada bulan Maret 2020 mewakili Indonesia dan Australia-New Zealand IADR divisional. Namun, karena pandemi, pertemuan IADR tersebut dibatalkan,” ujarnya.*

Akses terbuka artikel Elizabeth Fitriana Sari di jurnal Nature bisa dibaca pada tautan berikut.

Share this: