Pandemi Covid-19, Indonesia Harus Siap Wujudkan Ketahanan dan Kemandirian Pangan

Panen Bersama Kelompok Tani “Katata” Binaan Unpad dan Hero Supermarket di Kampung Cinangsi, Desa Margamekar, Kecamatan Pangalengan, Jawa Barat, Rabu (27/05). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Laporan oleh Arif Maulana

pangan; pertanian; pandemi; covid-19; unpad; berita unpad;
[Foto ilustrasi] Aktivitas panen tomat di lahan kampus Universitas Padjadjaran. (Foto: Dadan Triawan)*
[unpad.ac.id, 13/5/2020] Adanya pandemi Coronavirus (Covid-19) yang menyerang global salah satunya mengancam ketahanan pangan. Karena itu, sudah saatnya bagi setiap negara untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan berpedoman pada sistem pertanian berkelanjutan sesuai amanat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Prof. Yuyun Yuwariah, sistem pertanian berkelanjutan utamanya harus mengikuti tiga pilar utama, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Hal tersebut diungkapkan Prof. Yuyun saat menjadi pembicara dalam Seri Webinar Dewan Profesor Unpad Pokja Agrokompleks yang digelar secara daring, Rabu (13/5).

Webinar ini menghadirkan lima pembicara, yaitu Prof. Yuyun Yuwariah, Prof. Warid Ali Qasim, Prof. Tualar Simarmata, dan Prof. Tarkus Suganda dari Fakultas Pertanian, serta Prof. Sri Bandiati Komar dari Fakultas Peternakan. Webinar kali ini dimoderator Prof. Nurpilihan Bafdal.

Secara ekologi, pertanian harus mempertimbangkan faktor lokal. Faktor ini akan menentukan apakah usaha pertanian bisa dipasarkan, menguntungkan, dan diterima oleh norma adat dan hukum formal. Selain itu, teknologi yang digunakan harus sepadan dengan lokasi, sehingga tidak mengurangi daya dukung sumber daya alam.

“Secara ekologi, pertanian harus menggunakan konsep terpadu, sehingga usaha pertanian mampu menghubungkan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan tantangan pasar secara lestari dengan menguntungkan,” kata Prof. Yuyun.

Sementara secara ekonomi, produk pertanian berkelanjutan harus dapat dipasarkan, memiliki daya saing, serta tetap menguntungkan pelaku usaha. Secara sosial budaya, usaha pertanian harus mematuhi norma adat setempat, terutama yang berkaitan dengan status lahan.

Prof. Tualar mengatakan, dibutuhkan inovasi untuk mewujudkan kemandirian pangan di Indonesia pasca-pandemi Covid-19 berakhir. Meski demikian ada sejumlah tantangan yang masih dihadapi Indonesia di sektor pangan.

Padahal, Indonesia punya modal untuk mewujudkan kemandirian pangan. Modal tersebut antara lain cukupnya sinar matahari, sumber daya air yang melimpah, sumber daya lahan yang berdasarkan data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian masih tersedia 16 juta ha di Indonesia, serta kualitas sumber daya manusia yang dibantu dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Prof. Tualar menjelaskan, pola pikir pertanian Indonesia harus mulai diubah ke arah digital, bukan lagi manual. Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia saat ini sudah mulai mengubah segala aspek kehidupan menjadi serbadigital.

Ada sejumlah rekomendasi yang dijelaskan Prof. Tualar dalam mewujukdan kemandirian pangan. Salah satu yang disorot adalah peran perguruan tinggi dalam menghasilkan inovasi. Lulusan perguruan tinggi diharapkan menjadi kreator pembukaan lapangan kerja baru di bidang pertanian yang berbasis digital (smart farmers).

Pencapaian ketahanan pangan akan tercapai apabila dilakukan perlindungan tanaman. Menurut Prof. Tarkus, perlindungan tanaman mutlak diperlukan untuk menghasilkan produksi pertanian yang optimal.

“Pangan adalah masalah yang juga harus diperhatikan selain kesehatan,” ujar Prof. Tarkus.

Saat pandemi Covid-19, produksi pangan lokal harus diutamakan, mengingat pasokan internasional akan terbatas. Namun, tetap harus dilakukan perlindungan.

Prof. Tarkus menilai, kawasan negara tropis memiliki data kehilangan hasil panen cukup besar. Ini disebabkan, pertanian di kawasan tropis memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, lahan kawasan tropis sangat baik untuk bertani sepanjang tahun. Sementara negatifnya iklim tropis ini sangat bagus untuk organisme pengganggu.

Alternatif Kurangi Resesi

Sementara itu, Prof. Sri Bandiati Komar menjelaskan, pandemi Covid-19 berdampak besar pada hilangnya mata pencarian sejumlah masyarakat. Kondisi ini rentan terjadi resesi dan depresi.

Perlu upaya bersama untuk menanggulangi kondisi ini sekaligus untuk mempertahankan sumber pangan. Prof. Sri mengatakan, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah aksesibilitas ke subsektor peternakan, terutama di wilayah pedesaan. Ternak ayam lokal menjadi alternatif usaha peternakan yang bisa dikembangkan secara kolektif di pedesaan.

“Ternak ayam lokal memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan. Ternak dapat dipelihara secara semi intensif atau tradisional, sebagai pelaksanaan aksesibilitas masyarakat ke subsektor peternakan,” kata Prof. Sri.

Peluang besar dari usaha ternak ayam lokal ini adalah masyarakat dapat dengan cepat menerima keuntungan. Umur 5 bulan, ayam sudah bisa dijual dan keuntungannya bisa digunakan untuk membeli bahan pangan utama.

Prof. Warid Ali Qasim sendiri menjelaskan mengenai potensi buah manggis. Sampai saat ini, manggis masih menjadi primadona ekspor dari Indonesia. Ini terlihat dari tingkat ekspor manggis yang terus meningkat, yaitu dari 7.467 ton pada 2013 menjadi 38.830 ton pada 2018.

Selain berpotensi secara ekonomi, manggis juga dapat digunakan sebagai bahan baku herbal. Senyawa xanthone yang terkandung dalam kulit manggis berpotensi sebagai antioksidan, antijamur, antikanker, antiimflamasi, serta bisa digunakan untuk suplemen kesehatan.*

Share this: