Media di Antara Idealisme, Keragaman, dan Pemilik Modal

[unpad.ac.id, 18/09/2017] Penetrasi media massa dalam perkembangan bangsa Indonesia saat ini tidak dapat diabaikan. Untuk itu, proses seleksi suatu media terkait konten yang akan dipublikasikan (gatekeeping) menjadi sangat penting dilakukan. Namun pada praktiknya proses ini tidak dilakukan oleh media demi memenuhi pemetingan pemilik modal.

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad Dr. Hj. Siti Karlina, M.Si., saat menyampaikan orasi ilmiah bertajuk ““Gatekeeper Media di Tengah Keberagaman Masyarakat Indonesia” pada acara Peringatan Dies Natalis ke-57 Fikom Unpad di Auditorium Gedung Pascasarjana Fikom, Jatinangor, Senin (18/09). (Foto: Tedi Yusup)*

Dosen Departemen Komunikasi Massa Fikom Unpad Dr. Hj. Siti Karlinah, M.Si., mengatakan, kepentingan ekonomi menjadikan penyeleksi informasi (gatekeeper) media kerap mengabaikan kepentingan publik. Hal ini terjadi pada sebagian besar media yang mengabaikan idealismenya demi mementingkan aspek bisnis atau politik.

“Ini berimbas pada gatekeeper masing-masing media dalam menjalankan fungsinya. Di satu sisi dia harus memenuhi kepentingan pemilik media, di sisi lain dia harus memenuhi tanggung jawabnya pada khalayak,” ujar Dr. Siti saat memberikan orasi ilmiah berjudul “Gatekeeper Media di Tengah Keberagaman Masyarakat Indonesia” pada acara Peringatan Dies Natalis ke-57 Fikom Unpad di Auditorium Gedung Pascasarjana Fikom, Jatinangor, Senin (18/09).

Ada tiga tantangan besar yang dihadapi gatekeeper media, yaitu kepentingan ekonomi, luasnya rentang heterogenitas khalayak, serta tuntutan melaksanakan fungsi media sesuai dengan Undang-undang.

Menyitir UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers Nasional dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Penyiaran, disebutkan bahwa media memiliki fungsi pertama sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, sedangkan fungsi kedua sebagai alat ekonomi.

“Kenyataannya, tidak bisa dipungkiri beberapa media massa cenderung mengutamakan fungsi kedua, yakni sebagai bisnis dan atau politik,” kata Dr. Siti.

Pengaruh ekonomi dan politik dalam gatekeeper media ternyata berimbas signifikan. Dr. Siti menyebut, kepentingan ekonomi pada media akan melahirkan iklan yang tidak proporsional, perolehan rating, pengabaian verifikasi, keraguan akan objektivitas atau netralitas berita, hingga pembingkaian (framing) terhadap suatu isu tertentu.

Di sisi lain, gatekeeper juga telah melakukan penulisan yang subjektif, tidak melibatkan unsur cover both side sehingga menjadi tidak berimbang. Padahal, sejatinya gatekeeper berupaya untuk menyinergikan idealisme yang mencakup kepentingan publik, Undang-undang, dan etika jurnalisme, dengan kebijakan media atau pemilik modal.

Media di Tengah Keragaman

Menjawab tantangan kebinekaan Bangsa Indonesia, gatekeeper media tetap memiliki kesadaran bahwa Indonesia dibangun dari masyarakat yang beragam. Dr. Siti mengemukakan, Pancasila seharusnya mampu memengaruhi konten media.

“Pancasila sebagai ideologi yang menghargai keberagaman masyarakat dan percaya bahwa kebinekaan bukanlah hambatan untuk mewujudkan persatuan dan kesejahteraan masyarakat. Ini perlu diimplementasikan dalam seluruh kerja kita, termasuk di bidang media,” paparnya.

Bagi media yang memiliki jangkauan dan jejaring nasional, keragaman budaya menjadi modal kuat untuk menentukan arah program yang dapat mengakomodasi kekayaan yang dimiliki masyarakat Indonesia. Keberagaman ini seharusnya menghindarkan media memberikan porsi yang tidak berimbang terhadap suku, etnik, maupun budaya tertentu.

Meski saat ini, lanjut Dr. Siti, beberapa media nasional khususnya media elektronik cenderung “Jakarta sentris”, harus ada keluasaan bagi media daerah yang terafiliasi untuk membuat program yang mengangkat lebih banyak budaya setempat. Penambahan jam siar tayangan lokal pada saluran nasional sangat dibutuhkan agar konsep “Jakarta sentris” ini tidak mendominasi.

“Kondisi (dominasi suatu budaya) ini dikhawatirkan terjadinya disfungsi dari fungsi transmisi budaya. Artinya telah terjadi ‘penyeragaman budaya Jakarta’,” kata Dr. Siti.

Keragaman juga terlihat dari tingkat pendidikan. Pemilihan media massa di Indonesia disesuaikan dengan tingkat pendidikan masyarakat. Mengutip data Statistik Indonesia pada 2011, sebanyak 12,74% masyarakat tidak tamat Sekolah Dasar, 29,72% hanya tamat lulusan SD/Sederajat, serta 20,57% lulusan SMP/Sederajat.

Dr. Siti menjelaskan, angka-angka ini harus menjadi perhatian oleh para pelaku media. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah memiliki filter terbatas sehingga mengakibatkan penerimaan pesan dalam suatu pemberitaan menjadi tidak utuh.

Selanjutnya, masyarakat kelompok ini cenderung mengonsumsi berita dari media daring (online) dan media sosial, karena terbilang mudah dan murah. Di sisi lain, media daring umumnya hanya menyampaikan informasi yang ringkas dan kurang komprehensif. Begitu pun media sosial yang kerap memuat informasi yang tidak akurat bahkan penuh kebohongan.

Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian para pelaku media, baik media konvensional maupun media daring. Khusus untuk media sosial, meskipun sulit dikontrol, ada harapan lain yang bisa dilakukan, yaitu menyadarkan para pengguna untuk bijak dalam mengonsumsi berbagai informasi dari media sosial.

Perlu Dukungan

Upaya gatekeeper dalam menjalankan kembali fungsi utama media perlu mendapat kepercayaan dan dukungan masyarakat. Para gatekeeper media perlu dilindungi dari kepentingan ekonomi yang berlebihan serta ambisi penguasa.

Kelompok akademisi juga harus memberikan dukungan. Dr. Siti menjelaskan, akademisi berperan mengajak masyarakat untuk membangun literasi media bersama-sama. “Kewaspadaan masyarakat perlu ditingkatkan dan upaya memotong bisnis itu menjadi pekerjaan rumah bersama,” ujarnya.

Jika dukungan ini terealisasi dengan baik, Dr. Siti optimis media Indonesia akan menjadi rujukan yang sehat bagi masyarakatnya. Integrasi ini diharapkan akan membangun media yang tanpa kebohongan, mengutamakan kepentingan masyarakat, akurat, independen, serta mampu menyajikan nilai yang dapat membangun masyarakat.*

Laporan oleh Arief Maulana

Share this: