Prof. Moelyono Moektiwardoyo, “Kearifan Lokal Penting untuk Pengembangan Obat Modern”

Prof. Moelyono Moektiwardoyo (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 12/12/2014] Fitokimia merupakan jembatan saintifikasi etnofarmasi sebagai produk dari suatu kearifan lokal menjadi cikal bakal dikembangkannya sediaan farmasetika herbal dengan khasiat dan keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Prof. Moelyono Moektiwardoyo (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Prof. Moelyono Moektiwardoyo (kanan) dan Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia, saat prosesi Penerimaan Jabatan Guru Besar  dalam Ilmu Fitokimia di Bale Sawala Unpad Jatinangor, Jumat (12/12). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Hal tersebut disampaikan Prof. Moelyono Moektiwardoyo saat menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Saintifikasi Etnofarmasi Berbasis Fitokimia, Tahapan Menuju Industri Farmasetikal Herbal.” Orasi ilmiah tersebut dibacakan berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Fitokimia pada Fakultas Farmasi Unpad. Acara diselenggarakan di Bale Sawala Unpad, Gedung Rektorat kampus Unpad Jatinangor, Jumat (12/12).

Prof. Moelyono mengungkapkan, pemanfaatan tumbuhan sebagai obat secara tradisional telah lama dilakukan oleh berbagai suku di seluruh Indonesia. Menurutnya, kearifan lokal tentang pengobatan serta keragaman jenis tumbuhan yang digunakan oleh masing-masing suku menarik untuk dkaji. Dengan demikian, perlu ada upaya penggalian sebagai dasar untuk pengembangan obat tradisional.

“Kearifan lokal tentang obat dan pengobatan oleh masyarakat atau suku asli setempat sangat penting untuk pengembangan obat karena banyak ekstrak tumbuhan untuk obat modern ditemukan melalui pendekatan ini,” tutur pria kelahiran Banjar, 11 Januari 1950 ini.

Etnofarmasi merupakan bagian dari Ilmu Farmasi yang mempelajari penggunaan obat dan cara pengobatan yang dilakukan oleh etnik tertentu. Ruang lingkup etnofarmasi meliputi obat serta cara pengobatan menggunakan bahan alam. Etnofarmasi merupakan bagian dari ilmu pengobatan masyarakat tradisional yang seringkali terbukti secara empiris dan setelah melalui pembuktian ilmiah, dapat ditemukan atau dikembangkan senyawa obat baru.

Prof Moelyono menjelaskan bahwa dalam pencarian dan pengembangan obat baru, pengetahuan etnofarmasi banyak memberi arahan pendahuluan. Sebagai ilustrasi, untuk mengatasi gangguan diare, hampir seluruh komunitas etnik di Indonesia, terutama di Indonesia bagian barat, menggunakan godogan pucuk daun jambu biji.

“Penelitian farmakologi yang telah banyak dilakukan memberi arahan bahwa pucuk daun biji dapat digunakan untuk mengatasi gangguan diare karena senyawa kimia golongan tanin yang dikandungnya. Pengetahuan tersebut memberikan kemungkinan dilakukannya pencarian dan pengembangan obat baru,” ungkapnya.

humas unpad _2014_12_12_00065589humas unpad _2014_12_12_00065580Sementara Fitokimia merupakan bagian dari Ilmu Farmakognosi yang mempelajari kandungan kimia suatu tumbuhan. Melalui Fitokimia, sediaan etnofarmasi dapat disaintifikasi dan ditetapkan standar mutunya, mulai dari bentuk herbal terstandar hingga Fitofarmaka.

Menurut Prof. Moelyono, kandungan kimia merupakan salah satu langkah menuju saintifikasi etnofarmasi, karena dengan diketahui kandungan kimia aktifnya, maka aktivitas tumbuhan etnofarmasi dapat dipertanggungjawabkan secara saintifik.

“Saintifikasi fitokimia akan mencakup standarisasi dari bahan herbal yang digunakan dalam dunia farmasi, dan stadarisasi fitokmia akan menjadi suatu langkah signifikan untuk dimasukkan dalam suatu rencana induk penelitian, sehingga saintifikasi etnofarmasi berbasis fitokimia ini akan dapat menjadi tahapan menuju pengembangan industri farmastikal herbal di Indonesia,” ujar Prof. Moelyono. *

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Share this: