Mengenang Wahyu Wibisana, Sastrawan Sunda yang Filosofis

Rektor Unpad saat memberikan sambutan pada kegiatan mengenang karya Wahyu Wibisana di Aula Unpad Bandung, Kamis (6/11). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 7/11/2014] Wahyu Wibisana adalah salah satu sastrawan Sunda yang karya-karyanya tetap melekat di hati masyarakat Sunda. Tokoh yang telah berkiprah di dunia sastra dan budaya Sunda selama lebih dari 50 tahun ini telah meninggal dunia pada 13 Oktober lalu. Almarhum pun dikebumikan di Cisayong, Tasikmalaya, di tanah kelahirannya.

Rektor Unpad saat memberikan sambutan pada kegiatan mengenang karya Wahyu Wibisana di Aula Unpad Bandung, Kamis (6/11). (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Rektor Unpad saat memberikan sambutan pada kegiatan mengenang karya Wahyu Wibisana di Aula Unpad Bandung, Kamis (6/11). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Untuk mengenang karya-karyanya, Unpad menggelar Pidangan Rumawat Padjadjaran ke-73 bertajuk “Ti Cisayong ka Cisayong: Gelar Tineung Karya Wahyu Wibisana”, Kamis (06/11) di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung. Acara ini dihadiri oleh civitas akademika Unpad, masyarakat, seniman, tokoh Sunda, hingga keluarga dari Wahyu Wibisana.

Sebagai seorang sastrawan, telah banyak karya-karya yang ditulis Wahyu. Ia adalah “panyajak” Sunda, cerpenis, pembuat skenario drama dan gending karesmen, sutradara, hingga aktivitas kebudayaan, dan salah satu tokoh pendiri majalah Mangle, majalah berbahasa Sunda. Di usianya yang baru menginjak 19 tahun, sajak-sajaknya telah dimuat di majalah Warga dan Soneta Sunda.

Sajak-sajaknya banyak pula yang diaransemen oleh Mang Koko, menjadi kawih. Kawih-kawih seperti “Samoja”, Bungur Jalan ka Cianjur”,”Di Langit Bandung, Bulan keur Mayung”, dimainkan dengan apik oleh Ida Rosida dan kelompok GJ Setra pada acara tersebut. Selain kawih, ditampilkan pula pembacaan Sajak dan penggalan Carpon oleh Yayat Hendayana dan Helin Syamsuri.

Acara tersebut juga menampilkan pementasan drama berjudul “Tukang Asahan” yang apik dimainkan oleh grup Teater Sunda Kiwari. Penonton pun berdecak kagum dan sesekali tertawa atas adegan yang dimainkan oleh setiap pelakon. Selanjutnya, penonton pun disuguhkan video koleksi Gending Karesmen dari Kos Warnika.

Menurut Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia, karya-karya Wahyu Wibisana selalau memiliki nilai filosofis. Salah satu nilai yang tampak ketika pada tahun 1980, Unpad meminta almarhum untuk menulis naskah gending karesmen “Dur Mangkur Dipatiukur”. Naskah tersebut menggambarkan persiapan perang antara tatar Sunda dengan kerajaan Mataram dengan sudut pandang yang lebih menyentuh sisi batin.

“Di naskah kang Wahyu tidak terlihat bagaimana persiapan fisik menjelang perang. Yang terlihat hanya gambaran batin masyarakat Sunda menghadapi perang; anak berpisah dengan orang tua, salaki berpisah dengan istrinya. Tidak ada digambarkan sama sekali urusan perangnya,” jelas Rektor.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Tedi Muhtadin, M.Hum., dosen Sastra Sunda FIB Unpad. Sejak usia 20 tahun, Wahyu telah menciptakan “polemik” dalam dunia kesustraan sunda melalui tulisannya di majalah Warga. Dalam tulisannya, Wahyu menegaskan bahwa sajak merupakan jalan menuju kesusastraan dunia.

“Sejak awal, Wahyu sudah berpendapat bahwa sajak itu harus praktis dan romantis. Praktis dalam artian bermakna dalam, romantis dalam artian indah. Hal ini terlihat dari sajak-sajak yang dibuatnya,” kata Tedi.

Meskipun telah tiada, Wahyu Wibisana telah banyak mewariskan karya-karya yang berharga bagi keluarga dan masyarakat Sunda. Sebagai penutup acara dimainkan kawih berjudul “Jiwa nu Tenang” karya Prof. Ganjar Kurnia. “Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu”.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh

 

Share this: