Peduli Mitigasi Bencana Tidak Cukup Sekadar Kampanye di Media Massa

Suasana seminar (Foto oleh: Artanti Hendriyana) *
Suasana seminar (Foto oleh: Artanti Hendriyana) *
Suasana kegiatan ilmiah untuk mempresentasikan seminar internasional tahun 2013 di FISIP Unpad (Foto oleh: Artanti Hendriyana) *

[Unpad.ac.id, 28/05/2014] Anak-anak memiliki risiko besar terkena dampak bencana alam, terutama karena masih banyak sekolah yang belum siap menghadapi bencana alam.  Di sekolah, selain perlu adanya bangunan yang siap menghadapi bencana, anak-anak juga perlu mempelajari cara  menghadapi bencana alam untuk mengurangi resikonya.

“Agar anak-anak peduli terhadap bencana tidak cukup hanya kampanye di televisi, melainkan harus terintegrasi dengan kurikulum di sekolah. Harus ada SOP-nya untuk sekolah-sekolah supaya mereka sadar bahwa mereka bahaya dan kalau ada bencana harus seperti apa,” tutur dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad, Ida Widianingsih, PhD., saat menjadi pembicara pada Kegiatan Ilmiah untuk Mempresentasikan Seminar Internasional tahun 2013 yang digelar di Ruang Seminar Gedung D, kampus FISIP Unpad, Rabu (28/05).

Pada kesempatan tersebut, Ida mempresentasikan penelitiannya yang berjudul “In Search of Collaborative Policy Practice at Local Level: Tha Case of Safe School Against Disaster in West Nusa Tenggara, Indonesia” . Hasil penelitian ini juga pernah dipresentasikan Ida di Korean Association for Policy Studies (KAPS) International Conference di Yonsei University, Seoul, Korea pada Juni 2013 lalu.

Dalam mengurangi dampak bencana, Ida mengungkapkan perlunya kolaborasi, mulai dari pemerintah, LSM, dan berbagai pihak lain. “Isu bencana alam tidak hanya harus ditangani pemerintah, tetapi  perlu juga dari sektor-sektor lain,” ujar Ida.

Salah satu program untuk mengurangi risiko bencana di sekolah adalah Sekolah/Madrasah Aman dan Hemat Energi (SMAHE), hasil kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia, universitas, dan sejumlah komunitas, organisasi dan perusahaan swasta.  Nusa Tenggara Barat (NTB) dipilih sebagai salah satu tempat pelaksanaan program tersebut karena NTB merupakan wilayah miskin dan  sangat beresiko terkena bencana alam.

Selain Ida, turut hadir pula sebagai pembicara pada kesempatan tersebut adalah Mudiyati Rahmatunnsa, Ph.D yang mempresentasikan mengenai “Challenges Faced by Women Legislators in Indonesia: A Case Study from Cirebon, West Java”.  Hasil penelitian ini pernah ia presentasikan di The Indonesia Council Open Conference (ICOC) , University of Tasmania, Hobart, Juli 2013 lalu.

Mudiyati mengungkapkan bahwa masih sedikitnya perempuan yang maju di kancah politik, terutama sebagai anggota legislatif. Di Cirebon misalnya, anggota legislatif perempuan untuk kota Cirebon hanya sebesar 6,7% (tahun 2004-2009 dan 2009-2014), dan untuk Kabupaten Cirebon sebesar 10% (2004-2009) dan 14% (2009-2014).

Masih sedikitnya perempuan yang tertarik bergelut di dunia politik diakibatkan beberapa hal. Mudiyati menyebutkan bahwa masih banyak perempuan yang menganggap bahwa politik merupakan area laki-laki. Selain itu, masih rendahnya pengetahuan dan pengalaman menjadi salah satu alasan bagi perempuan untuk tidak percaya diri bersaing dengan laki-laki di kancah politik. Kurangnya dukungan dari partai dan masyarakat  juga menjadi salah satu faktor masih sedikitnya perempuan yang terpilih menjadi legislator.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh *

Share this: