Konstitusi Bukan Sekadar Dokumen Hukum, Melainkan Jiwa Sebuah Bangsa

Para narasumber dan moderator diskusi Unpad Merespons di Executive Lounge Unpad (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 30/04/2014] Undang-undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami 4 kali amandemen dalam kurun waktu 1999 – 2002. Kini, pemerintah berencana kembali mengamandemen UUD untuk kelima kalinya.

Para narasumber dan moderator diskusi Unpad Merespons di Executive Lounge Unpad (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Para narasumber dan moderator diskusi Unpad Merespons di Executive Lounge Unpad (Foto oleh: Tedi Yusup)*

“Indonesia sebenarnya memiliki rumah konstitusi yang dan terdiri dari 4 pilar, yaitu Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, UUD, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika salah satu pilar diutak-atik, pilar lain juga harus disangga,” ungkap Dr. Rahman Mulyawan, Dosen FISIP Unpad saat menjadi pembicara dalam dialog “Unpad Merespons: Mencermati Arsitektur Konstitusi Demokratik di Indonesia. Perlukah Amandemen ke-5 UUD 1945?”, Rabu (30/04) di ruang Executive Lounge Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung.

Menurut Dr. Rahman, ketika mengamandemen UUD, arsitek konstitusi di Indonesia lupa untuk menyangga 3 pilar lainnya. Sehingga, penguatan konstitusi yang seharusnya untuk kesejahteraan sosial malah menjadi konstitusi semantik. Hal ini juga akan berakibat pilar yang lain akan ikut rapuh.

Amandemen UUD semestinya harus dipahami dengan baik oleh para aristeknya, dalam hal ini ialah pemerintah. Elit Pemerintah harus paham terlebih dahulu mengenai Pancasila. Dr. Rahman berpendapat, kenyataan saat ini Indonesia sudah mengabaikan nilai-nilai Pancasila.

“Kalau pilar itu tidak lagi menciptakan keamanan publik, maka lambat laun akan runtuh. Kita tunggu tanggal mainnya, kapan bangunan tersebut akan runtuh,” kata Dr. Rahman.

Sementara pakar hukum Tata Negara Unpad, Susi Dwi Harijanti, Ph.D., menyatakan, konstitusi bukan sekadar sebuah dokumen hukum belaka. Konstitusi merupakan refleksi dari keinginan bangsa, bahkan merupakan jiwa dari sebuah bangsa.

“UUD 1945 harus menjadi kontitusi sosial yang mengatur hak-hak dan kepentingan rakyat di luar politik,” kata Susi.

Sehingga, lanjut Susi, melaksanakan UUD bukan sekadar sebagai bunyi tetapi makna. Salah satu maknanya termuat dalam cita-cita atau gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya.

“Jika perubahan formal dalam UUD tidak dapat dihindarkan, maka perubahan harus dilakukan dengan sangat berhati-hati,” kata Susi.

Selain Dr. Rahman dan Susi, dialog ini juga menghadirkan Ir. Hendarmin Ranadireksa, penulis buku “Arsitektur Konstitusi Demoktratik” dengan moderator kepala UPT Humas Unpad, Dr. H. Soni A. Nulhaqim, M.Si.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh *

Share this: