Suasana Seminar Wayang Kontemporer di Bale Rumawat Unpad, Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, , Selasa (29/04) malam (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 30/04/2014] Dalam benak masyarakat, wayang adalah seni tradisi yang terikat oleh pakem-pakem tertentu. Pakem ini bisa jadi berupa acuan yang telah disepakati sejak awal muasal wayang tumbuh, dengan cerita yang tidak lepas dari epos-epos besar, seperti Ramayana atau Mahabharata.

Suasana Seminar Wayang Kontemporer di Bale Rumawat Unpad, Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, , Selasa (29/04) malam (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Suasana Seminar Wayang Kontemporer di Bale Rumawat Unpad, Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, , Selasa (29/04) malam (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Namun, kini tidak semua dalang mematuhi pakem pewayangan. Kreativitas dalang dalam memainkan wayangnya melahirkan ragam seni wayang baru yang lazim disebut wayang kontemporer. “Wayang komtemporer adalah wayang yang tidak statis, membeku. Dia dinamis sesuai zaman dan selera penonton,” ungkap Kanjeng Raden Tumenggung Gaura Mancacaritadipura, Staf Ahli Wamen Bidang Pendidikan Kemendikbud RI dalam Seminar Wayang Kontemporer di Bale Rumawat Unpad Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, Selasa (29/04) malam.

Seminar ini digelar sebagai bagian dari Pidangan Seni Budaya Rumawat Padjadjaran ke-69 bertajuk “Seminar, Workshop, Pameran dan Pertunjukan Wayang Keroncong oleh behindtheactor’s”. Selain KRT Gaura Mancacaritadipura, seminar ini juga menghadirkan M. Tavip, Apep A.S. Hudaya, dan Sujiwo Tejo dengan moderator Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia.

Lebih lanjut KRT Gaura menjelaskan, perbedaan antara wayang tradisi dengan wayang kontemporer salah satunya terletak pada ekpresivitas dalang. Jika dalam wayang tradisi dalang masih menganut kaidah pakem pewayangan, maka pada wayang kontemporer dalang mengimajinasikan pakem tersebut sehingga cerita wayang disajikan dinamis dan acapkali ceritanya menjadi berbeda.

Pengamat wayang asal Australia ini menuturkan, sering ada perdebatan di antara dalang penganut tradisi dengan kontemporer. Namun, sebenarnya masih ada interaksi di antara keduanya. Dari segi cerita misalnya, wayang kontemporer masih menganut cerita-cerita wayang tradisi.

“Sementara untuk wayang tradisi sekarang selalu mengambil situasi kekinian. Pertunjukan wayang tradisi biasanya digelar hingga menjelang subuh, namun dalang selalu memperingkatnya agar penonton tidak pergi karena terlalu lama. Selain itu, dalang wayang tradisi juga kini sering menyelipkan situasi/isu kekinian,” ungkapnya.

Diakui Gaura, wayang kontemporer memang belum familiar di mata masyarakat. Selain itu, tidak semua dalang berhasil melahirkan wayang kontemporer yang mengacu pada tradisi. “Tidak semua dalang mampu memainkan wayang kontemporer dengan menarik dan berhasil,” ujarnya.

Sementara Apep selaku dalang wayang golek menjelaskan, terlepas dari segi tradisi atau kontemporer, seorang dalang bisa diibaratkan adalah pengembara. Ia harus mampu beradaptasi dengan keadaan dan selera penonton.

Lalu, bagaimana esensi wayang sesungguhnya? Budayawan Sujiwo Tejo menjawab, wayang adalah seni dimana tragedi dan komedi melebur ke dalam unsur cerita. Menurutnya, wayang sejatinya adalah dikotomi dimana tragedi dan komedi yang selalu berseberangan di Barat dihancurkan.

“Ketika tragedi dan komedi menyatu, wayang masih hidup. Dalang seharusnya menampilkan karakter yang ‘hidup’, tidak ada karakter benar dan salah, cuma tokoh-tokoh yang sekadar menjalani takdirnya masing-masing,” kata Sujiwo Tejo.

Adapun pertunjukan yang diigelar adalah Wayang Keroncong dengan lakon “Kumbakarna Pejah”. Pagelaran ini mengambil cerita wayang tradisi Arya Kumbakarna, senapati perang negara Alengka yang gugur ketika perang berkecamuk. Diiringi musik keroncong dan sentuhan teater, wayang kontemporer dengan sutradara Asep Budiman dan dalang Dede Chandra Sumirat ini sukses menghibur penonton.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh *

Share this: