Informasi Penelitian Kebencanaan Harus Dikemas dalam Bahasa yang Mudah Dipahami Masyarakat

Narasumber dan moderator Seminar Diseminasi Informasi Penelitian Kebencanaan di Ruang Moestopo Fikom Unpad, Jatinangor (Foto: Artanti)*

[Unpad.ac.id, 3/10/2013] Bencana alam memang sulit untuk dicegah. Walaupun demikian, kita bisa mengurangi kerugian yang ditimbulkan, baik nyawa maupun harta. Untuk itu, diperlukan adanya sosialisasi bagi masyarakat terkait cara menghadapi bencana. Namun seringkali  penelitian terkait bencana dilakukan oleh para ahli dengan bahasa yang sulit dimengerti.

Narasumber dan moderator Seminar Diseminasi Informasi Penelitian Kebencanaan di Ruang Moestopo Fikom Unpad, Jatinangor (Foto: Artanti)*

“Kita sering jumpai banyak istilah-istilah teknik yang hanya dapat dimengerti oleh para ahli. Masyarakat umum tidak mengerti. Kita harus gunakan bahasa masyarakat supaya masyarakat mengerti apa yang kita maksud,” tutur Dr. Herryal Z. Anwar dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat menjadi pembicara pada acara Seminar Diseminasi Informasi Penelitian Kebencanaan.  Acara ini digelar program studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad di Ruang Moestopo Fikom Unpad, Jatinangor.

Selain Dr. Herryal, acara ini juga menghadirkan pembicara Dr. Ninis Agustini Damayani (Fikom Unpad), Dr. Lina Handayani (Geoteknologi LIPI), Jamie McCaughey (Earth Observatory of Singapore, Nanyang Technological University), Ganda Kristianto (International Organizational for Migration Jawa Barat), dan Lioni Beatrik (IOM Jabar).

Pada kesempatan tersebut, Dr. Herryal mengungkapkan bahwa terdapat 17 jenis bencana alam yang ada di Indonesia. Korban bencana alam muncul karena banyak masyarakat yang terpapar oleh bencana. “Maksud terpapar di sini adalah banyak penduduk yang menduduki suatu daerah rawan bencana yang sepatutnya tidak ditempati, misalnya di daerah pinggiran sungai sehingga berpotensi terkena banjir,” tuturnya.

Dalam memberikan informasi, lanjut Dr. Herryal, diharapkan terjadi proses interaktif diantara individu. Indikator keberhasilannya, masyarakat bukan hanya dapat menangkap informasi tapi juga meningkat derajat pemahamannya.

Sementara itu, Jamie McCaughey mengungkapkan bahwa sering terjadi misconception dalam komunikasi dan pendidikan ilmu pengetahuan alam.  “Kita sering ada misconception ketika mengembangkan pengetahuan baru yang dimulai dari pengetahuan kita yang sudah ada,” tuturnya.

Jamie menambahkan, sebelum berkomunikasi, sebaiknya kita harus mencari tahu pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta. Caranya yaitu dengan bertanya kepada beberapa pesera, lalu bertanya lebih dalam, lalu bertanya lebih dalam lagi.

Kemudian selama berkomunikasi, kita harus dapat  memperbaiki misconception yang terjadi.  Misconception diperbaiki secara langsung melalui dialog. Lalu setelah komunikasi, kita harus bisa menilai efek komunikasi pada pengetahuan peserta. Caranya yaitu dengan bertanya langsung kepada beberapa peserta, lalu bertanya lebih dalam, lalu bertanya lebih dalam lagi.

Misconceptionyang terjadi selama ini misalnya, ada salah kaprah pengetahuan di masyarakat, bahwa sebelum muncul bencana tsunami selalu diawali dengan air surut. Padahal tidak selalu. Jika air surut pun itu terjadi hanya beberapa menit sebelum bencana tsunami datang. Selain itu, muncul juga salah kaprah kalau Kepulauan Mentawai dapat melindungi kota Padang terhadap tsunami. Padahal menurut data yang ada tidak demikian.

Pembicara lain, Lioni Beatrik mengungkapkan bahwa cara berkomunikasi ke masyarakat bisa dilakukan dengan menganalogikan bencana dengan hal-hal yang dekat dengan masyarakat, sehingga mereka lebih cepat paham dan mengerti.  Misalnya ketika berhadapan dengan anak muda, menghadapi bencana dapat dianalogikan ketika mereka menghadapi patah hati. Contoh lain, menghindari bencana juga dapat dianalogikan dengan cara mencegah agar rumah tidak kemalingan.

“Ketika kita tinggal di daerah yang rawan maling, kita harus tahu cara bagaimana agar rumah kita tidak kemalingan. Begitupun jika kita tinggal di daerah rawan bencana. Kita harus tahu apa yang harus dilakukan,” tutur Lioni. *

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh *

Share this: