Ini Kunci Membangun Soliditas Tim Lintas Generasi dalam Dunia Kerja

Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad Prof. Zahrotur Rusyda Hinduan, PhD, menjadi narasumber dalam dalam diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu (Sajabi) “Pengelolaan Tim Lintas Generasi” yang diselenggarakan Dewan Profesor Unpad secara daring, Sabtu (18/5/2024).*

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Psikologi Unpad Prof. Zahrotur Rusyda Hinduan, PhD., mengatakan, setiap generasi pasti memiliki karakteristik dan keunggulan masing-masing yang dipengaruhi oleh tren dunia yang telah dilewatinya. Kekhasan tersebut dapat menjadi hal yang positif dalam sebuah tim, tetapi bisa juga berpotensi menjadi hambatan karena adanya stereotipe pada setiap generasi.

Perbedaan generasi yang bekerja di satu tempat yang sama menjadi sebuah tantangan besar bagi pihak pengelola perusahaan. Ini disebabkan berbagai macam nilai, tujuan, karakteristik, serta stereotipe pada masing-masing generasi dapat dirasakan di sana.

“Ada kelompok generasi yang merasa bahwa ‘kok saya itu jadinya dikerjain terus’, tetapi ada juga generasi yang lain bilang bahwa ‘waktu saya seusia kalian saya juga bekerja dan di situlah saya belajar’, ini adalah konflik-konflik yang membuat gol dari organisasi menjadi terhambat,” kata guru besar yang akrab disapa Prof. Rosi dalam diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Pengelolaan Tim Lintas Generasi” yang diselenggarakan Dewan Profesor Unpad secara daring, Sabtu (18/5/2024).

Dalam pemaparannya Prof. Rosi mengatakan, konflik yang paling sering ditemukan dalam lingkungan kerja karena perbedaan generasi ini adalah stereotipe lintas generasi. Persepsi dari satu kelompok generasi tentang generasi yang lainnya tersebut memunculkan over generalisasi yang dapat mengganggu hubungan kerja dalam suatu organisasi.

Namun, perbedaan generasi tersebut juga juga dapat menjadi sebuah keuntungan besar. Dengan perbedaan cara pandang pada setiap generasi, akan banyak perspektif dari berbagai sudut pandang sebagai masukan dalam penyelesaian suatu masalah.

“Itu kan sebenarnya suatu hal yang positif ya kalau bisa di-manage dengan baik. Kemudian juga ada learning and development opportunities, pada dasarnya bisa saling learning and development,” ujarnya.

Dekan Fakultas Psikologi tersebut juga menjelaskan antisipasi konflik karena perbedaan generasi dapat dilakukan dengan mengembangkan budaya inklusif pada perusahaan serta perlu adanya peningkatan kesadaran dan pemahaman antar sesama. Menumbuhkan kolaborasi lintas generasi dan menciptakan keamanan psikologis juga perlu dilakukan.

Ia mengatakan, untuk menciptakan tim yang kuat dan saling terhubung, perlu dibangun nilai-nilai yang relevan pada setiap generasi yang terlibat. Selain itu, perlu melakukan team building secara rutin, menggunakan grup afinitas karyawan, serta adanya rekognisi dan penghargaan.

Lebih lanjut, hal lain yang dapat dilakukan, antara lain pengaturan kerja yang fleksibel jika memungkinkan, memanfaatkan informasi yang didapatkan dari supervisor dalam penyesuaian tugas, pertemuan 1:1 yang ditindaklanjuti, serta menerapkan saluran komunikasi yang efektif.

Terkait berbagi pengetahuan, Prof. Rosi mengatakan perusahaan perlu memberlakukan sesi tersebut untuk mengetahui kekuatan serta kelemahan masing-masing. Selanjutnya adalah memfasilitasi pembelajaran peer-to-peer (lintas generasi) dan menyediakan laman berbagi informasi yang dapat diakses oleh siapa pun.

“Bisa juga membuat proyek kolaboratif lintas fungsi dan mencoba bersama-sama menghargai teknologi dan inovasi. Jadi pada intinya memang tim yang inklusi, budaya yang inklusi itu tampaknya bisa menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada di lintas generasi,” jelasnya. (art)*

Share this: