Hasil Riset Prof. Rovina Ruslami Digunakan untuk Pengobatan TB Meningitis di Beberapa Negara

TB Meningitis
Prof. Rovina Ruslami, dr., SpPD, PhD. (Foto: Dadan Triawan)*

[Kanal Media Unpad] Menjalani takdir sebagai dosen dan peneliti, membawa Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Prof. Rovina Ruslami, dr., SpPD, PhD, meneliti tentang pengobatan penyakit Tuberkulosis (TB). Kendati awalnya tidak pernah bercita-cita menjadi peneliti, termasuk meneliti di bidang TB, riset yang dilakukan bersama dengan tim berhasil mewarnai tata laksana pengobatan tuberkulosis di dunia dengan berbasis bukti (hasil penelitian).

Hampir 20 tahun Prof. Rovina meneliti di bidang TB, khususnya terkait pengobatan. Riset ini dimulai saat menempuh studi doktoral di Radboud University Medical Center, Nijmegen, Belanda, atas dorongan pembimbing dan rekan sejawatnya.

Saat itu, masih sangat jarang penelitian mengenai pengobatan TB, khususnya farmakologi, pada populasi Indonesia, padahal Indonesia termasuk negara dengan jumlah orang yang sakit TB nya tinggi (selalu 5 besar, saat ini merupakan negara ke-3 dengan beban TB terbesar sesudah India dan Cina).

Selain meneliti mengenai farmakologi obat TB pada pasien TB Indonesia, Prof. Rovina juga mengeksplorasi mengenai upaya optimalisasi pengobatan TB  dengan menggunakan rifampisin dosis tinggi.

Obat-obat TB sudah ada sejak 1960 – 70-an, pengobatannya juga sudah ada sejak 1985. Tetapi (risetnya) hampir tidak ada pembaruan, padahal pengobatan TB masih memiliki masalah.

“Pengobatan TB itu kompleks, lama, banyak obat yang harus diminum pasien, dan masih saja ada yang tidak sembuh atau bahkan meninggal akibat TB, sehingga perlu dipikirkan upaya untuk optimalisasi pengobatan TB, misalnya pengobatannya tidak usah lama-lama, lebih singkat, dengan obat yang sama potennya, tapi sekaligus juga aman buat pasien,” ujarnya.

Alih-alih mencari obat baru, Prof. Rovina justru mencoba memaksimalkan penggunaan salah satu obat TB yang sudah ada sejak 50 tahun lalu, yang bernama rifampisin, yang merupakan obat utama dalam pengobatan TB. Pasalnya, penelitian mengenai pencarian obat baru memerlukan waktu belasan tahun dan dana yang tidak sedikit.

Sementara, kebutuhan akan optimalisasi pengobatan TB tidak bisa menunggu lama. Dengan memahami sifat-sifat rifampisin sebagai obat TB, penggunaannya dapat dioptimalkan (melalui modifikasi pemberian: dosis atau cara pemberian).

Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa dengan meningkatkan dosis rifampisin 1/3 dari dosis biasa, mampu meningkatkan kadar obat dalam tubuh pasien sampai 3x, dengan profil keamanan yang sama dengan dosis yang biasa.

Saat hampir selesai dengan program doktoral, terdapat peluang untuk melanjutkan ke program post-doctoral dengan bantuan hibah dari pemerintah Belanda (KNAW).

“Promotor saya melihat peluang itu, akhirnya ia menyuruh saya untuk membuat proposal hibah post-doctoral dari apa yang kami teliti waktu S-3 kemudian dicoba untuk TB Meningitis,” paparnya.

Pada 2009, penelitian terkait TB Meningitis atau TB yang menyerang selaput pembungkus otak, masih sangat minim. Padahal penyakit ini sangat mematikan dan jika pasien selamat akan hidup dengan kecacatan.

Dari situ, Prof. Rovina pun “ditantang” untuk mengimplementasikan risetnya untuk pengobatan TB Meningitis.

“Saat itu saya sangat tertekan disuruh membuat proposal karena masih sibuk memikirkan sidang akhir S3,” kenangnya. “Namun promotor saya berusaha meyakinkan saya kalau saya bisa dan ini merupakan peluang sangat baik” tambahnya.

Prof. Rovina pun berhasil mendapatkan hibah post-doctoral sebesar 50 ribu Euro, relatif kecil waktu itu. Meskipun “dipaksa” mengerjakan riset tersebut, hasilnya ternyata di luar dugaan.

Penambahan dosis rifampisin sebanyak sepertiga dari dosis biasa dan diberikan secara injeksi ternyata dapat meningkatkan kesempatan pasien TB meningitis untuk sembuh sebanyak 50% dibandingkan pasien yang mendapatkan pengobatan dengan rifampisin dengan dosis biasa/standar.

Dengan kata lain, tingkat kematian pasien yang mendapatkan obat dosis tinggi secara injeksi setengah lebih rendah dibandingkan pasien dengan dosis biasa, sedangkan profil keamanan tidak berbeda dengan dosis biasa.

Metode injeksi dipilih agar kadar obat dapat lebih efektif masuk ke dalam tubuh. Prof. Rovina menjelaskan, pasien TB Meningitis mengalami sakit berat dan sering susah menelan obat.

Penyerapan tubuh juga biasanya terganggu. Kondisi ini menyebabkan kadar obat dalam darah menjadi lebih rendah. Metode injeksi berupa menyuntikkan obat ke dalam pembuluh darah akan membuat obat masuk seluruhnya ke dalam tubuh sehingga kadarnya diharapkan akan lebih tinggi dan efeknya lebih baik pula.

Prof. Rovina mengatakan, hasil penelitian tersebut kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah bergengsi “Lancet Infectious Disease” pada 2013. Publikasi ilmiah ini berhasil membuka cakrawala baru dalam pengobatan berbagai bentuk TB, baik TB paru, TB meningitis, ataupun infeksi laten TB. Bahkan, hasil riset tim peneliti ini juga menjadi acuan bagi penelitian lainnya yang dilakukan di berbagai negara.

 “Saat ini, tidak ada satu pun dari penelitian (pengobatan TB) di dunia yang tidak menggunakan rifampisin dosis tinggi, dalam upaya optimalisasi pengobatan TB” ujarnya.

Peneliti di berbagai negara telah menggunakan hasil riset Prof. Rovina dan tim sebagai dasar untuk melakukan riset lanjutan. Hal ini untuk menjawab apakah pemberian rifampisin dosis tinggi dapat mengoptimalkan pengobatan TB, tidak hanya TB Meningitis pada orang dewasa di Indonesia, tapi buat TB lainnya, pada pasien anak-anak juga, dan untuk seluruh pasien TB di dunia (global).

Berpeluang Ubah Panduan WHO

Saat ini, rifampisin dosis tinggi untuk TB Meningitis sedang menjalani tahap pengujian terakhir, yang dilakukan dalam uji klinik fase 3, yang melibatkan beberapa institusi dan pasien dari berbagai negara/benua (Afrika Selatan, Uganda dan Indonesia) dengan melibatkan sekitar 500 pasien TB Meningitis dewasa. Uji klinis ini sudah berlangsung selama 2 tahun, dan diharapkan dapat selesai dalam 2-3 tahun ke depan.

“Riset kami dilakukan pada pasien TB meningitis dewasa, hanya pada pasien dari Indonesia dan kebanyakan orang Sunda. Apa yang ditemukan pada pasien dari Indonesia bisa jadi berbeda jika dilakukan terhadap pasien dari ras lain, atau pada anak-anak, misalnya. Tubuh kita ada gen yang berbeda dengan orang lainnya. Hal ini menjadi alasan orang di luar sana untuk mencobakan rifampisin dosis tinggi ke populasinya,” jelasnya.

Jika hasil riset ini berhasil memperlihatkan manfaat yang jelas, harapannya adalah perbaikan panduan pengobatan TB Meningitis WHO yang akan menjadikan dasar pengobatan TB Meningitis di seluruh dunia.

Tujuan melakukan riset selain untuk ilmu itu sendiri, adalah juga untuk kemaslahatan, untuk pasien (memperbaiki luaran pengobatan). Kendati belum resmi ditetapkan dalam panduan WHO, hasil riset Prof. Rovina dan tim telah diaplikasikan dengan hati-hati untuk pengobatan TB Meningitis oleh para klinis yang mengobati pasien TB Meningitis (di Indonesia maupun di negara-negara lain) sambil menunggu hasil uji klinik yang lebih besar.

Raih Penghargaan Internasional

Dua medali yang diraih Prof. Rovina Ruslami atas riset yang dilakukan di bidang TB Meningitis. (Foto: Dadan Triawan)*

Kerja keras penelitian Prof. Rovina yang didukung oleh banyak pihak termasuk support dari pimpinan dan institusi, mendapat berbagai apresiasi. Pada 2018, Prof. Rovina meraih penghargaan “Habibie Award” bidang kesehatan dari Yayasan Sumber Daya Manusia untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Yayasan SDM Iptek).

Terbaru, Prof. Rovina meraih penghargaan internasional “The Christiaan Eijkman Medal” dari The Eijkman Foundation bekerja sama dengan The Royal Tropical Institute, Belanda, pada tanggal 1 September lalu. Penghargaan ini diberikan kepada peneliti prominen yang berkiprah melakukan penelitian yang bersinggungan langsung dengan masalah kesehatan dunia (global health).

Penghargaan yang diberikan sejak 1927 ini awalnya diberikan khusus bagi peneliti Belanda. Baru pada tahun ini, Eijkman Foundation dan Royal Tropical Institute menginisiasi untuk memberikan penghargaan serupa kepada peneliti dari luar Belanda sebagai apresiasi atas riset yang dilakukan peneliti tersebut.

Menariknya, Prof. Rovina menjadi orang di luar Belanda sekaligus orang Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan bergengsi ini. Saat ini 53 peneliti sudah menerima penghargaan ini, termasuk Prof. Rovina.

Atas prestasi ini pula, Unpad kemudian memberikan Anugerah Padjadjaran Utama kepada Prof. Rovina pada Peringatan Lustrum XIII, 11 September lalu.*

Share this: