Objektifikasi Perempuan dalam Film Horor Indonesia

Justito Adiprasetio, M.A.*
Justito Adiprasetio, M.A.*

[Kanal Media Unpad] Film horor Indonesia menjadi salah satu genre film yang banyak ditonton masyarakat. Di balik pamornya yang mampu meraup banyak penonton, ada hal yang berkelindan dari film horor, yaitu objektifikasi terhadap perempuan.

Dosen Budaya Populer Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran Justito Adiprasetio, M.A., dalam studinya menemukan bahwa hantu perempuan secara dominan muncul dalam film Indonesia selama periode 1970 hingga 2019. Perempuan hampir selalu menjadi tokoh sentral dalam film horor yang direpresentasikan sebagai hantu (paranormal) atau monster/makhluk menyeramkan.

Bersama Pengajar Luar Biasa pada Program Studi Televisi dan Film Fikom Unpad Annissa Winda Larasati, M.A., Tito memetakan ada 559 film horor Indonesia yang diproduksi antara 1970-2019.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 60,47 persen atau 338 film menghadirkan sosok perempuan sebagai hantu utama. Sementara 24,15 persen atau 135 film menghadirkan sosok laki-laki sebagai hantu utama. Sisanya, 15,38 persen atau 86 film horor menghadirkan sosok laki-laki dan perempuan sebagai hantu utama.

“Makin ke sini, persentase hantu perempuan sebagai tokoh utama makin banyak,” ungkap Tito.

Beberapa alasan mengapa perempuan banyak dijadikan sosok hantu adalah representasi terhadap kondisi sosial masyarakat. Film horor, kata Tito, merupakan kepanjangan dari folklor yang ada di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kepercayaan terhadap berbagai enis hantu perempuan,

Ia berhipotesis, jika film merepresentasikan apa yang ada di masyarakat, jika dalam konteks hantu, maka arketip hantu perempuan akan terepresentasikan dalam film-film horor.

Selain itu, dominasi laki-laki pada industri perfilman sangat kentara. Sutradara film horor banyak didominasi laki-laki sehingga cara pandang dalam film cenderung sangat laki-laki.

Kendati ada sejumlah sutradara perempuan yang menyutradarai film horor, tatapan misoginistik tetap tidak bisa dihindarkan. Corak misoginisme ini menganggap perempuan sebagai obyek ketakutan.

“Data besar menunjukkan bahwa perempuan sangat dimanfaatkan untuk menakut-nakuti. Ini yang menjadi problematik, bahwa film horor menyimpan ketimpangan gender,” ucapnya.

Corak yang Sama

Tito menemukan bahwa sebagian besar cerita hantu perempuan dalam film horor memiliki pola yang sama, yaitu motif balas dendam.

Banyak film menceritakan bagaimana hantu perempuan muncul dan menghantui korban setelah meninggal karena diperkosa atau mengalami tindak kekerasan lainnya. Hantu tersebut muncul untuk membalaskan dendam dengan cara menakut-nakuti hingga membunuh korbannya.

“Tidak hanya di Indonesia, beberapa film di negara lain juga motif seperti ini ada,” imbuh Tito.

Motif tersebut merepresentasikan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk membalas kejahatan yang menimpanya meskipun bukan dalam keadaan hidup. Ini menggambarkan bahwa perempuan tidak bisa melawan dominasi laki-laki, sehingga ia baru bisa melawan ketika dalam keadaan mati.

“Memang hal ini ada kesan semacam empowerment terhadap perempuan. Akan tetapi ketika direproduksi terus-menerus, kita akan mengerdilkan posisi perempuan ketika dia hidup,” tegasnya.

Stereotipe Kebaikan Mengalahkan Kejahatan

Kendati hantu perempuan muncul untuk membalaskan dendam, film horor tetap menekankan pesan bahwa kebaikan akan selalu bisa mengalahkan kejahatan.

Salah satu adegan yang kerap terjadi dalam film adalah ketika hantu perempuan takluk oleh paranormal, kiai, ustaz, hingga pastor. Tito menemukan bahwa sosok alim yang mampu mengalahkan kesumat hantu perempuan selalu berjenis kelamin laki-laki.

“Kita bisa lihat wacana bahwa perempuan itu adalah penggoda dan sebagai lawan agama. Dan ini malah disiarkan dengan sangat kencang oleh film-film horor itu. Ini yang jadi salah satu wujud dari tatapan misoginisme,” papar Tito.

Adegan seperti itu banyak ditemukan pada film-film horor yang diproduksi pada masa Orde Baru. Selepas Orde Baru (2000 ke atas), cerita menjadi lebih banyak variasi meskipun adegan tersebut masih kerap ditemukan.

Variasi adegan yang dilakukan adalah mulai munculnya adegan yang lebih gore dan mengganggu (disturbing). Tito mengatakan, nuansa ketakutan yang diciptakan tidak hanya menampilkan sosok perempuan sebagai hantu. Akan tetapi sosok perempuan normal yang melakukan aksi sadistis.

“Ini berbeda dengan film-film Orde Baru yang cenderung mendikte bahwa kebaikan akan selalu menang terhadap kejahatan. Film selepas Orba lebih banyak variasi, akhir yang menggantung, sehingga penonton bisa memiliki imajinasi lebih luas,” papar penyuka film-film horor setelah Orde Baru tersebut.

Perbanyak Wawasan

Lewat studi ini, Tito mencatat bahwa sutradara seharusnya memiliki wawasan lebih luas lagi dalam menempatkan film horor sebagai sesuatu yang memberikan pengalaman menakutkan kepada penontonnya.

“Jangan terjebak pada arketip bahwa perempuan itu hanya menakut-nakuti. Ini bisa dilakukan kalau sutradara memiliki wawasan yang luas,” tuturnya.

Saat ini, banyak film-film horor Indonesia yang mengadaptasi cerita film horor barat. Banyak film yang memunculkan tidak hanya sosok hantu, tetapi menghadirkan nuansa ketakutan yang lebih luas.

Namun, Tito mengharapkan bahwa adaptasi ini jangan sampai membuat film yang benar-benar meniru, tetapi mampu menghadirkan cerita yang lebih otentik.

“ini jadi tantangan bagaimana biar tidak terlalu menyontek, tetapi menjadi inspirasi untuk meningkatkan khazanah horison film horor kita,” kata Tito.*

Share this: