Guru Besar Unpad Kaji Model Suksesi Usaha Sapi Perah Keluarga di Indonesia

Guru Besar Fakultas Peternakan Unpad Prof. Achmad Firman menjadi narasumber pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu "Lampu Kuning! Suksesi Usaha Sapi Perah Keluarga" yang digelar Dewan Profesor Unpad secara daring, Sabtu (8/6/2024).*

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Prof. Achmad Firman mengatakan bahwa saat ini ada kemunduran dari segi jumlah peternak sapi perah di indonesia. Padahal, peternakan sapi perah saat ini sudah menjadi salah satu industri di Indonesia.

Salah satu penyebab dari kemunduran tersebut adalah karena karakteristik generasi muda saat ini. Menurutnya, generasi Z cenderung memiliki sifat quick yielding yang ingin cepat menghasilkan, sedangkan pertanian memiliki proses yang harus dibangun. Hal tersebut mendasari penelitian yang dilakukan oleh Prof. Achmad.

“Makanya saya sebut (sebagai) lampung kuning, beberapa peternak sudah mulai mengalihkan profesinya,” kata Prof. Achmad saat menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Lampu Kuning! Suksesi Usaha Sapi Perah Keluarga” yang digelar Dewan Profesor Unpad secara daring, Sabtu (8/6/2024).

Dalam penelitiannya, Prof. Achmad memilih keluarga peternak sapi perah yang memiliki anak di Kecamatan Pangalengan sebagai subyek penelitian. Prof. Achmad memilih Pangalengan sebagai lokasi penelitian karena Pangalengan merupakan tempat pertama di mana sapi perah diperkenalkan di Indonesia.

Keluarga peternak berperan dalam proses suksesi usaha sapi perah keluarga. Terdapat proses transfer, sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder, persepsi anak, kognisi, serta afeksi di dalam keluarga. “Anak (dari peternak) tidak hanya berbayang di keluarga tapi di lingkungan, baik dengan tetangga atau dengan sekolah,” jelasnya.

Prof. Achmad menyebutkan bahwa masalah suksesi usaha sapi perah tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah sejak dahulu. “Itu sudah terjadi tahun 90-an di Eropa,” ungkap Prof. Achmad.

Terdapat faktor-faktor yang menyebabkan anak peternak memilih untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan usaha sapi perah keluarga, seperti pendidikan, umur, lokasi peternakan, pendapat keluarga, skala usaha, total aset usaha, jumlah anggota keluarga, tabungan, hutang, hingga produktivitas ternak. Yang menjadi faktor utama dalam menentukan keputusan anak peternak ialah jumlah anggota keluarga dan lama waktu membantu usaha sapi perah keluarga.

Di KPBS (Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pangalengan) terjadi seleksi ketat terhadap anggota, sehingga terjadi penurunan anggota selama lima tahun terakhir. Sedangkan jumlah peternak mengalami fluktuasi. Tahun 2022, terjadi penurunan karena PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) yang menyerang hewan ternak. “Penyakit (PMK) yang menyebabkan terjadinya produksi susu menurun. Selain produksi susu menurun, juga mengakibatkan kematian sapi,” jelasnya.

Dampaknya, sapi-sapi yang terkena PMK tidak lagi mampu memproduksi susu dengan normal. “Jadi sapi-sapi yang terkena PMK ini memang harus dieradikasi, disingkirkan, diganti dengan yang baru,” imbuh Prof. Achmad.

Meninjau hal ini, Prof. Achmad telah mengimbau Kementan melakukan impor untuk mengganti sapi-sapi yang terjangkit PMK.

Lebih lanjut, Prof. Achmad menjelaskan bahwa terdapat lima masalah utama yang berkelanjutan terkait sapi perah, yaitu harga susu, pakan konsentrat, pakan hijauan, bibit, dan regenerasi. Jika dianalogikan saat ini sapi perah bagaikan telur di ujung tanduk.

“Tinggal menunggu waktunya, makanya disebut lampu kuning,” ungkap Prof. Achmad.

Setelah diteliti, sebagian besar anak peternak memiliki cita-cita untuk menjadi petani atau peternak. Selain itu, keluarga peternak tersebut merupakan generasi kedua. Sehingga, usaha sapi perah merupakan turunan dari orang tua sebelumnya.

Terkait dengan sumber ilmu beternak, para anak peternak mendapat ilmu dari orang tuanya yang juga merupakan peternak. “Artinya, learning by doing yang terjadi di peternakan sapi perah,” jelas Prof. Achmad. Sementara itu, sebagian besar awal modal usaha sapi perah berasal dari usaha sendiri.

Usaha sapi perah cenderung diturunkan kepada anak pertama. “Kebiasaan di sana itu adalah anak kesatu itu sudah mulai dilibatkan di dalam atau berpartisipasi di dalam usaha peternakan,” jelasnya. Maka dari itu, anak pertama diharapkan dapat meneruskan usaha keluarga.

Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, laki-laki menjadi pilihan utama dalam suksesi usaha sapi perah. “Bukan dalam artian menyingkirkan wanita, tidak. Jadi artinya, ini pilihan orang tua terhadap anaknya,” kata Prof. Achmad.

Proses suksesi dapat dilakukan melalui sosialisasi, yaitu melalui sosialisasi primer yang mencakup transfer nilai, transfer sejarah, transfer ilmu, transfer aset, serta keyakinan. Sedangkan, sosialisasi sekunder tidak mendukung upaya suksesi.

Sementara itu, persepsi anak peternak terhadap upaya suksesi usaha sapi perah cenderung kurang positif karena anak bekerja di luar usaha sapi perah.

Dalam hasil analisisnya, Prof. Achmad menjelaskan bahwa mayoritas subjek penelitian mengatakan bahwa sapi perah termasuk dalam sumber kehidupan keluarga. “Artinya keluarga memberikan transfer nilai itu,” tambah Prof. Achmad.

Dalam usaha sapi perah, kegiatan pemerahan dilakukan dua kali, yaitu di pagi dan sore hari. Di siang hari, para peternak istirahat dan mencari rumput. “Ini kegiatan rutin yang ada di (usaha) sapi perah,” jelas Prof. Achmad.

Pada aktivitas usaha sapi perah, yang banyak berpartisipasi adalah anak yang sudah menjadi peternak. “Anak itu yang sudah menjadi peternak mencurahkan waktunya sekitar 6 jam,” kata Prof. Achmad.

Di Pangalengan sendiri, terdapat lima model suksesi usaha sapi perah yaitu mandiri, fasilitas orang tua, hibah, transfer, dan pewarisan.

“Jadi, kesimpulan yang bisa ditarik dari sini bahwa di proses sosialisasi ini keluarga menjadi sangat penting,” pungkas Prof. Achmad. (arm)*

Share this: