Membaca Konflik Israel-Palestina dari Kacamata Psikologi Politik

Duta Besar Nadjib Riphat Kesoema. (Foto: Dadan Triawan)*

Laporan oleh Salsabila Andiana

[Kanal Media Unpad] Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran menyelenggaran kuliah umum bertajuk “The Current Situation of the Israel-Palestinian Conflict: From the Perspective of Political Psychology” secara hybrid dari Ruang Sidang S-3 Gedung 1 Fapsi Unpad, Jatinangor, Sumedang, Selasa (21/5/2024).

Kuliah umum ini menghadirkan Duta Besar Nadjib Riphat Kesoema, mantan Duta Besar Indonesia salah satunya untuk Uni Eropa, Belgia, dan Luxemburg.  Kegiatan ini dibuka oleh Koordinator mata kuliah Psikologi Politik Fapsi Unpad Dr. Zainal Abidin , M.Si.

Dalam pembukaannya, Zainal mengatakan bahwa kuliah umum ini rutin diselenggarakan dalam 4 tahun terakhir. “Baru setahun lalu mulai memanggil ahli, salah satunya terkait kebijakan internasional,” ujarnya.

Selanjutnya, Duta Besar Nadjib yang juga alumni Psikologi Unpad menyampaikan materi mengenai konflik antara Israel dan Palestina dari sudut pandang psikologi politik serta catatan sejarah.

“Saat ini, saya pikir ini (konflik Israel-Palestina) adalah masalah yang luar biasa, masalah kemanusiaan yang sedang kita hadapi. Ini bukan masalah main-main lagi,” tegasnya.

Duta besar yang juga anggota Majelis Wali Amanat Unpad tersebut menjelaskan bahwa psikologi politik dapat digunakan untuk menganalisis konflik dan menciptakan perdamaian melalui studi kepribadian (study of personality) yang berfokus pada dampak kepemimpinan dan kepribadian tokoh kunci terhadap pengambilan keputusan, serta konsekuensi dari kepribadian massa terhadap batas-batas kepemimpinan.

Selain itu, analisis juga dapat dilakukan melalui pendekatan kepribadian kunci (key personality) dalam psikologi politik.

Nadjib memaparkan bahwa psikologi politik membahas mengenai penjelasan perilaku politik, mulai dari perilaku politik yang familier hingga perilaku politik yang tampaknya tidak dapat dipahami.

Dalam psikologi politik, kepribadian tidak hanya dimiliki oleh individu saja tetapi juga dimiliki oleh setiap bangsa. Kepribadian bangsa ditunjukkan oleh seluruh masyarakat, namun yang paling terlihat adalah  tokoh kunci atau pemimpin dari bangsa tersebut.

“Orang-orang ini (tokoh kunci dan pemimpin) akan memberikan seperti mass personality, seperti personality-nya orang banyak,” paparnya.

Selain itu, terdapat pula keyakinan bersama tentang ciri kepribadian yang khas bagi orang-orang dari suatu bangsa tertentu, yang juga disebut dengan karakter nasional atau stereotip nasional, atau bahkan kepribadian nasional. Suatu bangsa, bahkan suku-suku bangsa memiliki stereotip tertentu.

“Itu (stereotip nasional) merupakan gambaran karakter,” tambahnya.

Dalam menganalisis konflik, pendekatan yang digunakan adalah collective politicized identity. Collective politicized identity merupakan pendekatan psikologi politik yang terhubung dengan tiga konsep, yaitu collective identity (pemberian nama terhadap sesuatu), power struggle (perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan), serta kompleksitas konteks sosial dan kemanusiaan yang lebih luas daripada sekadar perjuangan kekuasaan.

“Darimana pun, banyak teori psikologi politik yang bisa kita masukkan untuk mendekati permasalahan ini (konflik Israel-Palestina). Tapi, saya ingin mengetuk hati kita, ingin kita melihat bahwa ini adalah permasalahan manusia yang luar biasa, tragedi kemanusiaan yang luar biasa yang sedang terjadi,” jelas Nadjib.

Rekonsiliasi psikologi juga penting dalam mengatasi suatu konflik.  Aspek rekonsiliasi psikologi memerlukan perubahan dalam etos konflik. “Jadi, jiwa dari konflik harus kita pegang, kita lihat dalamnya apa yang terjadi,” jelas Nadjib.

Dalam rekonsiliasi psikologi, menghormati keyakinan masyarakat juga perlu dilakukan. “Keyakinan-keyakinan dari kelompok itu harus kita bedah (dan) harus kita lihat secara jelas,” katanya.

Lebih lanjut, Nadjib mengatakan bahwa pembentukan etos perdamaian juga diperlukan dengan mengganti konflik yang sudah mengakar di dada dengan etos perdamaian.

Nadjib juga menjelaskan bahwa kontribusi utama psikologi politik dalam menciptakan perdamaian dan resolusi konflik dapat dilakukan melalui pemanfaatan budaya dialog berbasis objektif, pendekatan secara tepat dan bijaksana semua bentuk polarisasi, memitigasi langkah bersama untuk mengatasi akar permasalahan, serta menyadarkan pemimpin kelompok yang bertikai. (art)*

Share this: