Kecerdasan Emosional Faktor Penting yang Perlu Dimiliki Pemimpin Politik

Dr. Zainal Abidin, M.Si.*

[Kanal Media Unpad]  Dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Dr. Zainal Abidin, M.Si., berpendapat bahwa kecerdasan emosional menjadi faktor penting yang perlu dimiliki pemimpin politik, khusunya presiden. Kecerdasan emosional adalah kemampuan pemimpin untuk mengontrol emosi-emosi negatifnya dan dorongan-dorongan impulsifnya.

Basis untuk kecerdasan emosional itu adalah etika yang diyakini dan dipraktikkan dalam segenap perilaku dan kebijakan-kebijakan politik presiden. Meskipun seorang presiden memiliki berbagai kelebihan lain yang sangat menonjol dan di atas orang kebanyakan, jika rendah kecerdasan emosionalnya, berpotensi menimbulkan masalah dalam menjalankan tugas-tugas yang diembannya, termasuk dalam menyusun kebijakan-kebijakan politiknya.

Hal itu ditulis oleh Zainal dalam Opini Kompas yang ditulisnya sehari sebelum Pemilu (Pilpres) 14 Februari 2024.

Dari perspektif psikologi politik, etika itu harus melekat (inheren) pada semua pemimpin, khususnya presiden sebagai pemimpin tertinggi di pemerintahan. Zainal merujuk pada teori  Fred I. Greenstein (1930-2018), ilmuwan politik dan psikolog politik Amerika Serikat yang banyak melakukan kajian tentang presidential leadership pada sejumlah presiden AS.

Greenstein (1982, 2000, 2009) melakukan sejumlah riset historis terhadap puluhan mantan presiden dan kajian empirik terhadap sejumlah presiden yang sedang berkuasa di AS.

Dari puluhan mantan presiden dan presiden yang dikajinya itu, Greenstein menemukan ada enam karakter atau kemampuan yang membentuk kepemimpinan presidensial, yaitu komunikasi publik (public communication), kapasitas organisasi (organizational capacity), keterampilan politik (political skill), visi kebijakan (policy vision), gaya kognitif (cognitive style), dan kecerdasan emosional (emotional intelligence).

Kemampuan komunikasi publik ditandai oleh keterampilan presiden menjalin interaksi dengan rakyat. Di masa-masa sulit dan penuh tekanan, presiden yang memiliki kemampuan berkomunikasi publik yang baik akan mampu membuat rakyatnya tenang dan merasa aman, bukan justru membuat rakyat gaduh dan merasa terancam.

Kapasitas organisasi dicirikan oleh kemampuan presiden dalam memimpin para anggota stafnya (termasuk para menteri) secara manusiawi sekaligus profesional. Presiden harus dapat membuat para stafnya bekerja sama dalam sebuah tim yang solid dan profesional.

“Para anggota staf pun harus merasakan bahwa mereka diperlakukan secara adil, tidak merasa telah memboroskan tenaga dan pikiran secara sia-sia, dan mampu meraih tujuan bersama secara cepat dan efisien,” tulisnya.

Selain itu, presiden pun memiliki keterampilan politik agar dapat merealisasikan visi dan misinya. Keterampilan yang perlu dimiliki ada tiga. Satu, keterampilan politik elektoral, yakni keterampilan untuk memenangi pemungutan suara dan menjalin interaksi yang baik dengan pemilih.

Dua, keterampilan dalam menyelesaikan konflik atau kebuntuan politik, terutama dalam konteks perdebatan di parlemen. Tiga, keterampilan mempersuasi publik dan politisi untuk mengikuti kebijakan presiden meskipun mungkin saja pada awalnya mereka tidak ingin melakukan seperti yang diharapkan presiden.

Kemudian, presiden juga perlu memiliki visi kebijakan dimana ia mampu memprediksi masa depan dengan tepat dan sekaligus mampu membangun jalan untuk sampai ke masa depan itu.

Dalam konteks Indonesia, Zainal mencontohkan, Presiden Soekarno dapat dijadikan sebagai model atau contoh. Sebelum menjadi presiden, Soekarno memiliki policy vision, yakni bahwa pasca-Perang Dunia II, kekuatan penjajah Belanda dan Jepang akan lemah sehingga segenap rakyat Indonesia harus bersatu padu melawan penjajah.

Mengutip apa yang dikemukakan oleh Greenstein, Zainal mengemukakan, “Banyak presiden memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan, tetapi sebagian dari mereka gagal memanfaatkan momentum terbaik untuk menjadikan masa depan yang lebih baik.”

Presiden juga perlu memiliki kecerdasan kognitif yang tinggi. Kecerdasan kognitif diperlukan untuk memecahkan beragam persoalan politik secara cerdas, strategis, dan efektif.

Yang terpenting adalah kecerdasan emosional. Seorang presiden harus cerdas secara emosional, yakni mampu mengendalikan emosi-emosi negatifnya dan dorongan-dorongan impulsifnya, termasuk tidak melanggar hukum dan tidak tergoda untuk berkuasa secara permanen.

Saking pentingnya kecerdasan emosional ini, tulis Zainal, Greenstein mewanti-wanti kita agar waspada terhadap presiden yang kecerdasan emosionalnya bermasalah.

“Kecerdasan emosional, yang menjadi basis untuk perilaku etik presiden, merupakan faktor determinan paling penting. Meskipun presiden memiliki lima karakter lainnya secara sangat menonjol, tetapi bila rendah kecerdasan emosionalnya, besar kemungkinan akan bermasalah ketika dia sudah menjabat sebagai presiden,” pungkasnya. (art)*

Share this: