Perguruan Tinggi Perlu Sikapi Peluang dan Risiko ChatGPT bagi Pembelajaran

chatGPT
CEO Bahasa KIta Oskar Riandi menjadi narasumber pada Webinar “chatGPT dan Perkembangan Large Languange Model (LLM) pada Pendidikan Tinggi: Peluang atau Ancaman?”, Jumat (24/2/2023).*

[Kanal Media Unpad] Hadirnya teknologi chatGPT diperkirakan dapat memberikan manfaat besar bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi. Namun, penggunaan alat ini juga tetap harus diperhatikan dan disikapi secara bijaksana.

Menurut CEO Bahasa Kita Oskar Riandi, chatGPT merupakan sistem pemrosesan bahasa alami NLP multipurpose menggunakan Generative Pre-trained Transformer (GPT) yang dirancang untuk melakukan simulasi percakapan manusia. Sistem ini mampu memberikan respons percakapan yang relevan sambil tetap mempertahankan pengetahuan yang terakumulasi dan kemampuan generalisasi.

Saat menjadi pembicara pada Webinar “chatGPT dan Perkembangan Large Languange Model (LLM) pada Pendidikan Tinggi: Peluang atau Ancaman?”, Jumat (24/2/2023), Oskar mengatakan, chatGPT dapat digunakan untuk berbagai aplikasi, seperti: layanan pelanggan, asisten pribadi, hingga menulis artikel, meringkas teks, parafrase, serta menerjemahkan bahasa, analisis, dan menulis kode komputer.

Tidak heran jika pasca-dirilis 30 November 2022 lalu, sistem ini langsung memiliki satu juta pengguna dalam lima hari. Jumlah ini terus meningkat dalam dua bulan menjadi 100 juta pengguna.

“Sistem ini memberikan impact luar biasa kepada penggunanya, kalau hasilnya bagus. Akan tetapi kita juga bisa merasakan kalau dia mengalami halusinasi. Secara semantik hasil (jawabannya) tetap koheren tetapi datanya salah. Ini yang perlu hati-hati kalau di perguruan tinggi, karena perguruan tinggi itu evidence based,” papar Oskar.

Lebih lanjut Oskar menyampaikan, secara peluang, chatGPT dapat digunakan untuk melakukan personalisasi pembelajaran. Sistem ini memberikan respons yang sesuai kebutuhan dan preferensi belajar setiap mahasiswa.

Hal ini didasarkan bahwa kemampuan belajar setiap mahasiswa berbeda, sehingga personalisasi pembelajaran sangat diperlukan agar sesuai kebutuhan dan preferensi belaharnya.

Peluang lainnya adalah mampu mengefisiensi pembelajaran. Mahasiswa bisa memiliki waktu lebih panjang untuk berinteraksi langsung di sistem, di mana dosen sudah melakukan fine tuning materi perkuliahan ke dalam chatGPT.

Dengan demikian, mahasiswa juga bisa mengakses pembelajaran kapan pun di mana pun. Hal ini mampu meningkatkan fleksibilitas pembelajaran dan memberikan aksesibilitas lebih kepada mahasiswa.

Namun, sistem ini juga memberikan risiko yang perlu diperhatikan perguruan tinggi. Oskar menyampaikan, penggunaan masif chatGPT bisa mengakibatkan ketergantungan bagi penggunanya. Hal ini mengakibatkan peserta didik terlalu bergantung pada teknologi dan mengurangi kemampuan untuk berpikir kritis.

Ancaman lain adalah ketidakuratan data sehingga berpotensi menghasilkan informasi keliru (hoaks) atau halusinasi, kehilangan interaksi sosial, penggunaan yang kurang etis seperti digunakan untuk melakukan kecurangan saat ujian, serta ketidakmampuan dalam memahami nuansa bahasa.

Karena itu, Oskar mendorong perlunya integrasi penggunaan chatGPT dalam pembelajaran yang diarahkan dosen dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat memperkaya proses pembelajaran tanpa menggantikan interaksi sosial dan partisipasi aktif mahasiswa.

“Dengan memperhatikan manfaat dan risiko penggunaan chatGPT, teknologi ini dapat memberikan manfaat maksimal bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi,” ujarnya.*

Share this: