Hari Bahasa Ibu Internasional: Bagaimana Refleksinya terhadap Eksistensi Bahasa Daerah?

hari bahasa ibu internasional
Prof. Ganjar Kurnia. (Foto: Dadan Triawan)*

[Kanal Media Unpad] Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional jatuh setiap 21 Februari. Peringatan ini kerap menjadi momentum untuk memperingati keberagaman bahasa dan budaya di setiap negara.

Menurut Ketua Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Universitas Padjadjaran Prof. Ganjar Kurnia, peringatan hari bahasa ibu internasional seharusnya bukan sekadar peringatan seremonial belaka. Hal utama dari peringatan ini adalah bagaimana melestarikan sekaligus mengaplikasikan bahasa ibu dalam konteks bermasyarakat saat ini.

“Yang paling penting adalah bukan sekadar peringatan, tetapi bagaimana aplikasinya di antara peringatan ke peringatan berikutnya,” kata Prof. Ganjar.

Untuk itu, peringatan hari bahasa ibu internasional ini seharusnya menjadi refleksi apakah setiap tahunnya terjadi peningkatan penutur bahasa ibu ataukah tidak. Jika tidak menunjukkan peningkatan, diperlukan upaya lain yang lebih dari sekadar seremonial peringatan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya melestarikan bahasa ibu.

Lebih lanjut Prof. Ganjar menjelaskan, Unpad menjadi perguruan tinggi yang berkomitmen melestarikan bahasa ibu. Salah satunya adalah menggelar “Pasanggiri Tarucing Cakra” yang digelar setiap tahun pada 2008 – 2011, serta dihidupkan kembali pada 2020 lalu dan rutin digelar setiap tahunnya. Setiap tahunnya, kegiatan ini banyak diikuti oleh pelajar maupun masyarakat umum.

“Jadi masih ada harapan (bahasa ibu bisa lestari) kalau kita membuat sesuatu yang terarah, terprogram, dan terencana,” ujarnya.

Selain itu, Unpad juga membentuk Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Bahasa Sunda. Pusat ini menjadi lembaga khusus Unpad untuk melakukan inventarisasi kekayaan budaya tulis, audio, dan visual milik masyarakat Sunda. Tidak hanya melakukan inventarisasi,  lembaga ini juga mengolahnya ke dalam bentuk digital.

Didirikan sejak 2019, sampai saat ini telah lebih dari 750.000 halaman yang telah didigitalisasi. “Dikhawatirkan jika sewaktu-waktu bahasa Sunda hilang, tetapi lumayan kalau ada data digitalnya,” imbuhnya.

Menurut Prof. Ganjar, agar bahasa ibu tetap lestari, perlu beragam upaya yang masif dilakukan. Jangan hanya sekali menyelenggarakan program, setelah itu terhenti. Istilahnya “jangan berharap panen kalau tidak menanam”.

“Kita mengharapkan bahasa Sunda bakal ada terus tetapi tidak ada upaya apa-apa,” pungkas Prof. Ganjar.

Share this: