Tumpang Tindih Peraturan Picu Permasalahan Hukum Agraria

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ida Nurlinda, M.H., menjadi pembicara pada diskusi
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ida Nurlinda, M.H., menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Polemik Peraturan Agraria” yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (6/8/2022).*

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ida Nurlinda, M.H., mengatakan, permasalahan hukum agraria, seperti maraknya kasus mafia tanah, salah satunya disebabkan peraturan yang saling tumpang tindih.

“Permasalahan hukum agraria yang selama ini terjadi kurang lebih berangkat dari peraturan perundang-undangan dari zaman Belanda hingga saat ini. Kurang lebih ini menjadi salah satu penyebab terjadinya beragam kasus agraria di Indonesia,” ungkap Prof. Ida pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Polemik Peraturan Agraria” yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (6/8/2022).

Prof. Ida memaparkan, pada zaman Belanda, hukum di Indonesia dibagi atas tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan pribumi (Bumiputra). Tiga golongan tersebut masing-masing memiliki sistem hukum tersendiri dan wajib tunduk terhadap sistem hukumnya.

Ini berarti, orang Eropa tunduk pada hukum tanah yang mengacu pada sistem KUH Perdata Belanda. Sementara hukum tanah pribumi tunduk pada sistem adatnya masing-masing.

Pada 1960, Indonesia menerapkan unifikasi hukum menjadi hukum Indonesia. Pada tahun ini pula, lahir Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Proses unifikasi tersebut menjadikan sistem hukum Eropa dan Timur Asing menjadi tidak berlaku. Padahal sebelumnya tanah-tanah tersebut tunduk pada sistem hukumnya masing-masing.

“Oleh karena itu, sekarang pun kita masih mengenal kasus-kasus yang timbul dari permasalahan tanah itu adalah tanah adat, tanah eigendom, tanah eigendom verfonding,” kata Prof. Ida.

Secara normatif, 20 tahun sejak UUPA berlaku, konversi hukum tersebut seharusnya sudah selesai. Sebagai contoh, jika tanah itu tadinya tanah eigendom, maksimal pada 1980 sudah menjadi tanah hak milik. “Tetapi kita orang bersengketa, hakim tidak boleh menolak kasus yang dihadapkan padanya. Mau tidak mau hakim menyelesaikannya flash back dengan peraturan lama,” jelasnya.

Tanah “Modal Pembangunan”

Prof. Ida memaparkan, semula UUPA lahir dengan semangat untuk menjadi “Undang-Undang Payung”, dalam arti mengatur hingga aspek luar. Dalam hal ini, UUPA mengatur tidak hanya tanah, tetapi juga tambang, serta segala hal yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Namun, pasca-pergeseran Orde Lama menuju Orde Baru pada 1966, terjadi perubahan kebijakan signifikan. Pemerintah Orde Baru menjadikan tanah dan SDA di Indonesia sebagai modal dasar pembangunan. Pada 1967, Peraturan Perundang-Undangan menjadikan SDA menjadi sumber pendanaan pembangunan.

“Kita bisa lihat, mulai dari UU Kehutanan, Pertambangan, Perkebunan, dan lain-lain yang lahir di awal Orde Baru, itu menjadikan SDA basis pembangunan. Dia boleh dieskploitasi, kemudian negara memberi kewenangan melimpahkan hak tersebut kepada swasta,” kata Prof. Ida.

Dampak dari kebijakan ini adalah tanah banyak dieksploitasi dan dimiliki segelintir pemodal sehingga menyebabkan terjadi ketidakadilan agraria. Kondisi ini terus bertahan hingga Orde Baru berakhir pada 1998.

Lahirnya Orde Reformasi menjadi momentum untuk mengembalikan marwah kekayaan alam untuk dikelola demi kesejahteraan rakyat secara lebih populis seperti cita-cita awal UUPA lahir. Momentum ini ditangkap dengan diterbitkannya Tap MPR IX Reforma Agraria pada 2001.

“Prinsipnya Reforma Agraria adalah restrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfataan tanah dan SDA. Ini dilakukan karena saat itu terjadi penguasaan tanah dan SDA oleh kroni penguasa ataupun pengusaha yang menjadi kroni penguasa,” jelas Prof. Ida.

Namun demikian, momentum ini berjalan sangat lambat dan belum tuntas, hingga pada 2014 Presiden Joko Widodo menyinggung kembali Reforma Agraria melalui konsep Nawacita.

“Memang di masa Pilpres, isu agraria itu paling laku ‘dijual’. Karena ternyata pada kenyataannya restrukturisasi pertanahan itu tidak berjalan baik atau belum sesuai harapan,” imbuhnya.

Pada 2021, Badan Pertanahan Nasional menerbitkan sejumlah Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan agraria sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja. Sayangnya, ada ketidakselarasan peraturan agraria pasca UU Cipta Kerja tersebut keluar. Apalagi ada Peraturan Pemerintah, yaitu PP Nomor 18 Tahun 2021 tidak menyebutkan UUPA sebagai dasar rujukan.

“PP 18 hanya disandarkan pada UUPA, di mana UU Cipta Kerja tidak menyebut UUPA sebagai dasar rujukan. Tentu kalau kita masih menganggap UUPA itu masih merupakan hukum positif, hukum berlaku, dia tentu harus menjadi sesuatu yang dirujuk terkait hukum-hukum pertanahan,” terang Prof. Ida.*

Share this: