Berkaca pada Sejarah, Musik Indonesia Bisa Kembali Mendunia

Grup musik HIVI! tampil dalam acara penutupan acara Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Universitas Padjadjaran tahun akademik 2018/2019 di halaman Gedung Rektorat kampus Jatinangor, 29 Agustus 2018. (Foto: Arsip Kantor Komunikasi Publik Unpad)*

[Kanal Media Unpad] Musik Indonesia pernah menorehkan catatan kejayaannya sejak era 1960-an. Catatan ini menjadi refleksi bahwa industri musik Indonesia sangat berpotensi menembus pasar internasional.

Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Dr. R. M. Mulyadi, M.Hum., mengatakan, musik Indonesia telah membawa pengaruh bagi kebiasaan mendengarkan lagu pada masyarakat Malaysia. Di era 1960 hingga akhir 1970-an, sekira 60 persen lagu-lagu yang diputar di Malaysia merupakan lagu Indonesia.

“Hal ini menjadikan habit bagi orang Malaysia dalam mendengarkan musik, mereka akhirnya terbiasa mendengarkan musik Indonesia,” ungkapnya pada acara “Siniar Sastra” yang diselenggarakan FIB Unpad secara virtual, Jumat (4/3/2022) lalu.

Dosen yang akrab disapa Lucky ini menuturkan, selain produksi rekaman yang masif, kebijakan pemerintah saat itu dinilai menguntungkan industri musik Indonesia. Kebijakan politik Presiden Soekarno yang melarang lagu-lagu Barat akhirnya mendorong lagu-lagu lokal berkembang. Hal ini menjadi nilai tambah bagi industri musik Indonesia di era 60-an.

Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Dr. R. M. Mulyadi, M.Hum., menjadi narasumber pada acara “Siniar Sastra” yang diselenggarakan FIB Unpad secara virtual, Jumat (4/3/2022) lalu.*

Lucky yang pernah meneliti industri pop Malaysia tersebut memaparkan, berbeda dengan Indonesia, Malaysia tidak memiliki kebijakan seperti itu. Apalagi, sudah banyak perusahaan rekaman asing yang beroperasi pada era tersebut. Praktis, kekuatan musik lokalnya tidak sekuat Indonesia.

Faktor lainnya, Indonesia pernah meminjamkan koleksi piringan hitam miliki Radio Republik Indonesia (RRI) ke Malaysia. Hal ini yang membuat lagu-lagu Indonesia banyak diputar di negeri Jiran.

Di era Orde Baru, kendati kebijakan politiknya tidak seketat Soekarno, industri musik berhasil menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar di Indonesia. Akhir 1970-an, banyak musisi yang “menyadari” untuk berkiprah sepenuhnya di industri musik.

Sejarawan musik ini memaparkan, sebelum akhir 1970-an, musisi belum dianggap sebagai profesi, tetapi hanya sebatas hobi. Banyak grup musik yang bubar karena personelnya memutuskan untuk melanjutkan studi atau membuka usaha.

“Contohnya ada biduanita sewaktu diwawancara wartawan masih ditanya cita-citanya apa. Padahal dia sudah jadi penyanyi dan membuat beberapa album,” paparnya.

Potensi Dikenal Dunia

Indonesia, kata Lucky, bisa meniru kesuksesan industri pop Korea Selatan. Ketika industri manufaktur mulai dihantam, Korea Selatan melihat industri kreatif berpotensi dikembangkan lebih luas.

“Korea melihat ada keuntungan ekonomi, bahwasanya industri musik itu adalah industri besar,” ucapnya.

Sampai saat ini, industri musik dan film Korsel terus meluas. Lucky melihat, invasi industri kreatif Korsel tidak hanya soal ekonomi belaka. Ada diplomasi budaya yang dibawa, sehingga mampu meningkatkan hubungan bilateral dengan negara lainnya.

“Indonesia harusnya sudah bukan lagi wacana,” kata Lucky.*

Share this: