Kedudukan Perempuan Sunda dalam Konstruksi Bahasa

perempuan
Mahasiswi Universitas Padjadjaran sedang beraktivitas di lahan tanam pertanian di kampus Unpad. (Foto: Dadan Triawan)
perempuan sunda
Dosen Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Dr. Susi Yuliawati, M.Hum., menjadi pembicara pada Keurseus Budaya Sunda “Kalungguhan Wanoja Sunda” yang digelar Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Bahasa Sunda Unpad secara virtual, Rabu (17/11/2021).*

[Kanal Media Unpad] Dalam pandangan masyarakat tradisional Sunda, perempuan cenderung ditempatkan di sektor dapur, kasur, dan sumur. Ungkapan tersebut semakin kabur seiring upaya menghadirkan perempuan Sunda ke dalam ranah publik. Salah satu yang berperan dalam upaya ini adalah majalah berbahasa Sunda Manglé.

Dalam penelitian disertasi yang dilakukan Dosen Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Dr. Susi Yuliawati, M.Hum., sebagai majalah yang terus bertahan hingga kini, Manglé memiliki peran dalam mengonstruksi perempuan Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan nomina yang melambangkan perempuan yang berhasil diteliti Susi pada majalah Manglé periode 1958 hingga 2013.

“Kehadiran leksikon (kosakata) untuk melambangkan perempuan dalam bahasa Sunda mengindikasikan peran penting perempuan dalam masyarakat Sunda,” ungkap Susi pada Keurseus Budaya Sunda “Kalungguhan Wanoja Sunda” yang digelar Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Bahasa Sunda Unpad secara virtual, Rabu (17/11/2021).

Menggunakan metode penelitian linguistik korpus, Susi mengkaji sampel majalah Manglé dari tahun 1958 hingga 2013. Ia membagi ke dalam empat periode utama, yaitu masa Demokrasi Terpimpin (1958-1965), masa Orde Baru (1966-1998), masa transisi menuju demokrasi (1999-2003), serta masa Reformasi (2004-2013).

Seluruh edisi yang terbit pada empat periode tersebut berjumlah sekira 2.000 edisi. Susi pun menggunakan teknik sampling untuk mengambil sejumlah edisi yang mewakili setiap periode. Total ada 92 sampel edisi yang dilakukan penelitian.

Dari seluruh sampel tersebut, Susi menemukan berbagai nomina pelambang perempuan yang digunakan dalam Manglé, yaitu awéwé, istri, mojang, parawan, wanoja, bébéné, wanita, pamajikan, geureuha, garwa, dan bojo.

Nomina ini kemudian disaring kembali menggunakan penghitungan statistik chi-square. Hasilnya, ada lima kata yang dianalisis lebih dalam oleh Susi, yaitu mojang, wanoja, wanita, geureuha, dan pamajikan.

Tren Meningkat dan Menurun

Lima kata tersebut diteliti Susi berdasarkan tren kemunculannya di setiap periode penerbitan Manglé.

Kendati lima kata ini konsisten digunakan dalam setiap periode, ternyata empat kata mengalami tren penurunan penggunaannya. Empat kata tersebut, yaitu pamajikan, geureuha, wanita, dan mojang.

Dari empat kata itu, geureuha semakin langka digunakan, dari 156 di periode pertama hingga menjadi tiga di periode keempat.

“Kondisi sosial, budaya, dan sejarah yang terjadi dalam konteks masyarakat Sunda maupun Indonesia memengaruhi perubahan tren penggunaan nomina perempuan,” kata Susi.

Namun, kata wanoja justru meningkat penggunaannya dalam setiap periode. Peningkatannya cukup signifikan, dari semula 13 di periode pertama menjadi 301 di periode keempat.

Susi menjelaskan, tren penggunaan wanoja yang meningkat sejalan dengan geliat perempuan Sunda di ranah publik, di mana usia perkawinan, tingkat pendidikan, hingga jumlah pekerja perempuan Sunda terus meningkat.

Hingga periode 1980an, perempuan Sunda masih berkutat di ranah domestik. Angka usia perkawinan yang di bawah 20 tahun, hingga masih sedikitnya jumlah perempuan Sunda yang mengenyam pendidikan tinggi.

Pergeseran Makna

Dari tren tersebut, Susi menyimpulkan makna dari setiap kata berdasarkan penggunaannya dalam artikel beserta kata-kata pengiringnya. Kata geureuha pada Masa Demokrasi Terpimpin bermakna bahwa perempuan Sunda berperan sebagai istri yang fungsi utamanya sebagai pemenuh kebutuhan biologis laki-laki.

Sementara mojang awalnya merupakan konstruksi perempuan Sunda berdasarkan aspek tubuhnya (kecantikan). Namun pada periode ketiga, objektivikasi pada mojang perlahan menghilang dan berubah menjadi sebutan untuk perhelatan mojang-jajaka.

Kata pamajikan konsisten menampilkan sosok perempuan Sunda sebagai istri dengan peran tradisionalnya dalam keluarga. Sementara kata wanita mengalami ameliorasi. Dari semula bermakna obyek seksual, kemudian memiliki peran dalam kerangka keluarga dan negara, hingga peran setara dalam laki-laki tetapi tetap dalam ranah domestiknya.

Adapun kata wanoja dipandang Susi sebagai kata yang mampu menghadirkan perempuan Sunda ke ranah publik. Kata ini terus meningkat penggunaannya hingga periode Reformasi. Pada periode ini, kata wanoja menggambarkan perempuan Sunda dengan kepribadian mandiri dan punya kepentingan tersendiri di ranah publik.

“Jika empat kata lain memiliki pasangan istilahnya dengan laki-laki. Wanoja tidak punya pasangannya dalam laki-laki. Ini menunjukkan bahwa wanoja cenderung memperbincangkan perempuan sebagai diri sendiri, tidak terikat dengan laki-laki,” kata Susi.*

Share this: