Pemerintah Daerah Harus Keluarkan Kebijakan yang Pro-Sunda

sunda
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Prof. Ganjar Kurnia menjadi pembicara
sunda
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Prof. Ganjar Kurnia menjadi pembicara pada Keurseus Budaya Sunda “Manusa Sunda” yang digelar secara virtual, Rabu (20/10/2021).*

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Universitas Padjadjaran Prof. Ganjar Kurnia menyebut bahwa banyak orang Sunda saat ini hapa budaya, atau tidak punya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap budayanya.

“Kalau hapa budaya dari pemimpinnya, maka kebijakannya akan tidak pro-Sunda. Namun, yang paling sedih, banyak juga orang tua generasi muda yang sudah tidak memperhatikan lagi pada bahasa dan budaya Sunda,” ungkap Prof. Ganjar saat menjadi pembicara pada Keurseus Budaya Sunda “Manusa Sunda” yang digelar secara virtual, Rabu (20/10/2021).

Prof. Ganjar yang juga ketua Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Unpad ini menuturkan, saat ini banyak orang tua yang tidak mendidik anaknya menggunakan bahasa Sunda. Bahkan, menurutnya, bahasa Sunda sudah tidak lagi menjadi bahasa ibu bagi generasi muda saat ini.

“Yang disebut bahasa ibu adalah bahasa yang digunakan ibunya untuk mengajarkan anaknya. Tetapi kelihatannya sekarang bahasa ibunya bahasa Indonesia atau bahasa Inggris,” tuturnya,

Dari sisi birokrasi, hapa budaya terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah yang sudah tidak berorientasi pada eksistensi budaya Sunda. Prof. Ganjar mengkritisi kebijakan pemerintah yang memberikan izin terhadap penggunaan nama kawasan permukiman baru yang tidak menggunakan bahasa Sunda.

Begitu pula sentra perbelanjaan maupun tempat wisata di Jawa Barat yang saat ini sudah banyak menggunakan nama asing ketimbang nama Sunda. Fenomena ini bukan hanya terjadi di wilayah perkotaan, tetapi juga wilayah kabupaten di Jawa Barat.

Padahal, budaya Sunda memiliki banyak nilai luhur. Prof. Ganjar mengatakan, salah satu nilai luhur modern dari orang Sunda adalah konsep silih asah, silih asih, silih asuh, dan silih wawangi.  

Silih asah bermakna orang Sunda punya  sikap saling mencerdaskan. Silih asih bermakna punya sikap saling peduli dan menyayangi. Silih asuh bermakna punya sikap saling membimbing, membina, dan menjaga, serta silih wawangi yang bermakna saling mendukung dan menjaga nama baik orang Sunda.

“Konsep ini (seakan) ada pada dongeng saja, tetapi pada praktiknya sepertinya agak jauh,” kata Prof. Ganjar.

Rektor ke-10 Unpad ini mengatakan, membangun kembali eksistensi bahasa dan budaya Sunda memerlukan upaya yang sistematis. Pemerintah berperan penting dalam mengeluarkan kebijakan yang pro-Sunda.

“Sekarang ketika orang tua sama-sama sudah hapa budaya, harus ada upaya lain, yaitu kebijakan pemerintah,” kata Prof. Ganjar.*

Share this: