Perlu Komitmen Negara dalam Berikan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat

masyarakat adat
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Susi Dwi Harijanti, LL.M., menjadi pembicara pada acara Keurseus Budaya Sunda “Sékésélér tina Sawangan Hukum Tata Negara”, Rabu (15/9).*

[unpad.ac.id] Pemerintah perlu memberikan pengakuan sekaligus perlindungan terhadap keragaman suku bangsa Indonesia. Sebagai negara yang multikultural, perbedaan ras dan budaya rentan memicu terjadinya pergesekan antara tatanan sospolhum pemerintah dengan tatanan masyarakat adat.

“Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan suku bangsa dengan segala atribut sosial, politik, budaya, dan hukumnya penting untuk mendorong rasa menjadi bagian bangsa Indonesia,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Susi Dwi Harijanti, LL.M., pada acara Keurseus Budaya Sunda “Sékésélér tina Sawangan Hukum Tata Negara”, Rabu (15/9).

Prof. Susi menilai, pengakuan dan perlindungan suku bangsa/masyarakat adat lebih diarahkan untuk mengatur hal berbeda yang ada dari tatanan norma suku bangsa dengan tatanan norma umum dari suatu negara. Ada otonomi yang dimiliki kelompok suku bangsa/masyarakat adat untuk menjalankan tatanan sosial, politik, hukum, dan budayanya sendiri.

Namun, otonomi masyarakat adat sejatinya bukan “hadiah” pemerintah. Prof. Susi menjelaskan, otonomi masyarakat adat sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. “Kehadiran negara itu hanya untuk memberikan pengakuan sepanjang masyarakatnya masih hidup dan adatnya masih dijalankan,” imbuhnya.

Secara konsitusi, ada tiga pengakuan dan perlindungan yang dilakukan pemerintah, yaitu: perlindungan bersifat politik, perlindungan bersifat tatanan hukum ulayat (wilayah daerah), serta perlindungan bersifat bahasa dan budaya.

Kendati demikian, pengakuan dan perlindungan suku bangsa/masyarakat adat memiliki tantangan tersendiri. Gesekan antara upaya pemajuan suku bangsa dengan aktivitas ekonomi yang disponsori negara kerap terjadi.

Guru besar bidang hukum tata negara tersebut mengatakan, salah satu tantangan yang terjadi adalah pada upaya pengakuan dan perlindungan yang bersifat ulayat. Dalam hal ini, pemerintah perlu memahami bahwa hak ulayat masyarakat adat tidak sekadar sebatas wilayah kediamannya, melainkan lingkungan keseluruhan yang memberikan pengaruh bagi keberlanjutan masyarakat tersebut.

Dengan demikian, apabila aktivitas ekonomi yang disponsori pemerintah memberikan dampak bagi kelangsungan dan kesejahteraan masyarakat adat, maka itu tidak boleh dilakukan.

“Bukan berarti aktivitas negara itu harus selalu berada di atas. Akan tetapi, itu harus mempertimbangkan, karena memang itulah dasar konsekuensi dari pengakuan bahwa negara mengakui masyarakat adat itu,” ujarnya.*

Share this: