Pemerintah Perlu Minimalkan Dampak Orang Pinggiran Akibat Pembangunan

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Opan S. Suwart
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Opan S. Suwartapradja menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Masyarakat Pinggiran yang Terpinggirkan” yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (21/8).*

[unpad.ac.id] Pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah ternyata memiliki sejumlah dampak. Salah satunya adalah meningkatnya risiko jumlah orang pinggiran akibat alih fungsi lahan dari aktivitas pembangunan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Opan S. Suwartapradja menjelaskan, proses alih fungsi lahan, seperti area persawahan menjadi perumahan, jalan tol, kawasan industri, hingga bendungan memiliki dampak besar terhadap terjadinya orang pinggiran, terutama bagi buruh tani.

“Buruh tani yang tidak memiliki lahan yang sumber penghidupannya mengandalkan dari sektor pertanian, termasuk para petani guram, itu berdampak besar,” ungkap Prof. Opan pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Masyarakat Pinggiran yang Terpinggirkan” yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (21/8).

Guru Besar pada Departemen Antropologi FISIP Unpad ini menjelaskan, upaya pemerintah untuk menangani kemiskinan akibat dampak pembangunan sudah dilakukan. Mulai dari pemberian kompensasi, penyediaan bantuan dan subsidi, penyediaan kredit rakyat/usaha, hingga jaminan akses kesehatan.

Hal ini dilakukan karena tidak bisa dimungkiri, pembangunan dilakukan untuk mencapai kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera bagi masyarakat Indonesia.

Meski demikian, pemberian kompensasi dan bantuan langsung saja tidak cukup. Berdasarkan riset yang sudah dilakukan, Prof. Opan menjelaskan, penanganan orang pinggiran memerlukan tiga strategi, yaitu mengidentifikasi potensi daerah, menyiapkan model penanganan komprehensif, serta melakukan pemantauan.

Proses identifikasi atau pemetaan potensi daerah dilakukan untuk mengetahui sejauh mana daerah tersebut “bertahan” akibat dampak pembangunan. Hal ini dilakukan agar kehidupan masyarakat tetap bisa mencapai kesejahteraan.

Hasil pemetaan tersebut kemudian menjadi acuan untuk melaksanakan berbagai program pendampingan, termasuk salah satunya menggelar sejumlah pelatihan untuk memaksimalkan potensi yang ada.

Namun, kata Prof. Opan, untuk mencapai kesejahteraan melalui pemanfaatan potensi lokal ini tidak bisa singkat. Hasil observasi yang sudah dilakukan, rata-rata pencapaian kesejahteraan melalui model peta jalan (road map) tersebut memerlukan lebih dari 4 tahun.

“Tidak hanya kolaborasi, kesuksesan ini juga bergantung dari ada atau tidaknya hibah dari pemerintah itu sendiri,” ujarnya.

Prof. Opan juga menegaskan, perhatian pemerintah dalam pemberian bantuan sangat diperlukan. Pemerintah tidak hanya berperan memberikan bantuan, tetapi juga aktif memantau dan melakukan evaluasi kepada masyarakat.

“Selama ini di lapangan, (pemerintah) hanya memberikan bantuan. Tidak ada pemantauan lebih lanjut, sehingga tidak diketahui secara persis bagaimana keberlanjutan dari orang yang diberikan bantuan tersebut,” pungkas Prof. Opan.*

Share this: