Prof. Chay Asdak: Bencana Hidrometeorologi Diakibatkan Kombinasi Fenomena Alam dengan Ulah Manusia

hidrometeorologi
Prof. Chay Asdak, Ir., M.Sc., PhD, membacakan orasi ilmiah berjudul “membacakan orasi ilmiah berjudul “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai untuk Pengendalian Bencana Hidrogeologi”pada upacara pengukuhan guru besar yang disiarkan secara langsung dari Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Kamis (10/6). (Foto: Dadan Triawan)*

[unpad.ac.id] Dalam beberapa tahun terakhir, bencana hidrometeorologi melanda sejumlah daerah di Indonesia. Tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, bencana hidrometeorologi juga telah menimbulkan banyak korban jiwa.

Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran Prof. Chay Asdak, Ir., M.Sc., PhD, menjelaskan, bencana hidrometeorologi yang meliputi banjir, tanah longsor, erosi-sedimentasi, hingga kekurangan diakibatkan oleh kombinasi fenomena alam dengan ulah manusia, sehingga menciptakan kondisi antropogenik.

“Bencana tersebut terjadi, selain curah hujan yang ekstrem, juga karena berkurangnya tegakan hutan, pemanfaatan lahan yang tidak pertimbangkan kaidah konservasi tanah dan air, serta akibat kebijakan publik yang memicu terjadinya alih fungsi lahan,” ungkap Prof. Chay saat membacakan orasi ilmiah berjudul “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai untuk Pengendalian Bencana Hidrogeologi”.

Orasi ilmiah tersebut dibacakan Prof. Chay pada upacara pengukuhan guru besar yang disiarkan secara langsung dari Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Kamis (10/6). Pada upacara itu, Prof. Chay dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang pengelolaan daerah aliran sungai.

Prof. Chay menyoroti alih fungsi lahan yang kerap terjadi seperti perubahan hutan menjadi area permukiman, perhotelan, hingga pertambangan dan/atau kebun sawit memicu terjadinya bencana hidrometeorologi. Selain itu, bencana hidrometeorologi juga terjadi karena hilangnya area retensi air akibat aktivitas pembangunan ekonomi.

Alih fungsi lahan akibat laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang tinggi menjadi salah satu tantangan dalam melakukan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Prof. Chay memaparkan, DAS merupakan satu kesatuan ekosistem dengan batas fisik punggung bukit atau gunung.

Wilayah ini mengandung unsur utama beruapa sumber daya alam tanah, air, dan vegetasi, serta manusia sebagai pelaku pemanfaat sumber daya alam tersebut.

Batas fisik ini penting karena memungkinkan untuk menelusuri keterkaitan hidrologis antara hulu dan hilir DAS.

“Alih fungsi lahan di hulu DAS, misalnya, tidak hanya memberikan dampak di lokasi terjadinya perubahan lanskap (on-site impact), tapi juga akan menimbulkan dampak di tengah dan hilir DAS dalam bentuk banjir, sedimentasi (sungai, reservoir), dan kekurangan air (off-site impacts),” ujarnya.

Karena itu, pengelolaan DAS terpadu berperan penting dalam mengendalikan bencana hidrometeorologi di Indonesia.

Prof. Chay menyarankan ada empat pendekatan terpadu guna mengendalikan bencana hidrometeorologi. Pertama, pendekatan perencanaan tata guna lahan. Masyarakat perlu dijauhkan dari wilayah banjir alamiah. Pemerintah juga wajib memastikan agar wilayah tersebut bebas dari permukiman.

Kedua, pendekatan struktural, yaitu menjauhkan banjir dari orang. Pendekatan ini lebih bersifat teknsi, seperti penyiapan pengendali banjir, tanggul, dan polder.

Ketiga, lanjut Prof. Chay, pendekatan antisipatif. Sistem prakiraan terjadinya banjir, peringatan dini, hingga kesadaran warga terhadap banjir perlu ditingkatkan. Keempat, pendekatan emergensi, yakni penanganan optimal pascabanjir, penanganan penyintas, hingga penanganan trauma.*

Share this: