Pakar Komunikasi Unpad: Media Sosial Hancurkan Nilai Kemanusiaan

Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Prof. Deddy Mulyana, PhD, dalam diskusi "Satu Jam Berbincang Ilmu-Komunikasi
Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Prof. Deddy Mulyana, PhD, dalam diskusi “Satu Jam Berbincang Ilmu-Komunikasi Antarbudaya di Era Digital: Tantangan dan Paradoks” yang digelar Dewan Profesor Unpad, Sabtu (19/6).*

[unpad.ac.id] Perkembangan teknologi komunikasi, terutama media sosial, seyogianya digunakan untuk memudahkan antarbangsa maupun komunitas untuk melakukan pertukaran budaya yang saling menguntungkan. Nyatanya, media sosial saat ini cenderung digunakan untuk saling menghancurkan.

Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Prof. Deddy Mulyana, PhD, saat menjadi pembicara pada diskusi virtual “Satu Jam Berbincang Ilmu Komunikasi Antarbudaya di Era Digital: Tantangan dan Paradoks” yang digelar Dewan Profesor Unpad, Sabtu (19/6).

Menurut Prof. Deddy, media sosial dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Fenomena ini diperkuat dengan adanya temuan riset di Amerika Serikat pada 2009 ketika media sosial Facebook dan Twitter tengah populer.

Hasil riset tersebut memprediksikan bahwa dua media sosial tersebut dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. “Gejala-gejala ini sudah lama terlihat di seluruh dunia, termasuk di negara kita,” kata Prof. Deddy.

Berbagai peristiwa, konflik, hingga polarisasi politik kerap muncul akibat pengaruh media sosial. Salah satu pengaruh tersebut adalah masifnya peredaran hoaks di media sosial. Prof. Deddy mengatakan, banyak dari perilaku hoaks di media sosial yang berujung pada kerusuhan dan pembunuhan.

Pakar komunikasi antarbudaya ini menuturkan, beberapa dampak yang ditimbulkan dari media sosial adalah adanya kesetaraan semu hingga keintiman semu. Media sosial menurutnya telah menciptakan perilaku iri hati dan ilusi.

“(Di media sosial) banyak orang mengunggah foto-foto yang bagus meskipun fakta yang sebenarnya tidak seperti itu. Akhirnya kita terobsesi dengan segala hal, hubungan, dan gaya hidup yang tidak nyata,” tuturnya.

Karena itu, menyongsong era masyarakat digital 5.0, Prof. Deddy menekankan perlunya keseimbangan teknologi dan kesejahteraan sosial. Komunikasi tatap muka tetap diutamakan ketimbang komunikasi via media digital.

“Media sosial hanya dijadikan sebagai pelengkap,” kata Prof. Deddy.

Penguatan pendidikan karakter dan literasi digital juga diperlukan, baik di tingkat keluarga hingga lembaga pendidikan. Selain itu, peran pemerintah melalui penerapan peraturan perundang-undangan juga diperlukan.*

Share this: