vaksin
Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Kusman Ibrahim, M.NS., PhD, menjadi relawan vaksinator dalam kegiatan vaksinasi untuk dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan Unpad yang digelar di GOR Bale Santika Unpad, Jatinangor, Kamis (24/3). (Foto: Dadan Triawan)*

[unpad.ac.id] Universitas Padjadjaran telah menggelar serangkaian kegiatan vaksinasi Covid-19. Mulai dari vaksinasi untuk dosen berusia lanjut, pejabat pengelola, hingga dosen dan tenaga kependidikan.

Vaksinasi bagi warga Unpad menjadi salah satu program dalam kerangka pencegahan penularan Covid-19 di lingkungan kampus yang telah digulirkan pemerintah. Hal tersebut disampaikan Ketua Satgas Covid-19 Unpad Dwi Agustian, MD., MPH, PhD.

Dosen yang akrab disapa Yayan ini menjelaskan, kampus merupakan lingkungan yang aktif. Mobilitas aktivitas manusianya sangat tinggi. Perlu ada respons penanganan dan surveilans yang masif dan komprehensif agar kampus tidak menjadi klaster penularan Covid-19.

Upaya penanganan akhirnya mendapatkan titik terang. Hasil sementara uji klinis vaksin Sinovac yang dilakukan peneliti Fakultas Kedokteran Unpad menghasilkan efikasi sebesar 65,3 persen. Hasil ini melampaui standar efikasi vaksin yang ditetapkan WHO, yaitu 50 persen.

Ini berarti, vaksin Sinovac sudah bisa menjadi solusi dalam upaya pencegahan Covid-19. Apalagi vaksin ini sudah keluar izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) oleh BPOM RI.

“Dengan demikian, sasaran prioritas sebagai pelayan publik bagi dosen dan tendik perlu diberikan vaksinasi. Kita mendapatkan alokasi vaksin dari Dinkes Jabar dan kita manfaatkan fasilitas ini untuk bisa memberikan imunitas melalui vaksinasi,” ungkap Yayan saat dihubungi via sambungan telepon.

Sekira 1.800 warga Unpad sudah mendapatkan vaksinasi tahap pertama. Beberapa di antaranya tidak atau belum diberikan vaksinasi. Kelompok yang tidak diberikan vaksinasi merupakan kelompok yang sebelumnya pernah terkena Covid-19 karena diasumsikan sudah memiliki imunitas.

Sementara bagi kelompok yang belum divaksinasi merupakan orang dengan kondisi tubuh yang belum memungkinkan untuk mendapatkan vaksin. Ada yang kondisi tubuhnya kurang fit hingga memiliki sejumlah penyakit kronis.

Vaksin Diberikan pada Orang Sehat

Yayan menjelaskan, syarat utama seseorang bisa dilakukan vaksinasi adalah harus dalam keadaan sehat. Hal ini disebabkan, vaksin Sinovac yang dipakai baru melewati tahap pengujian klinis pada relawan yang dikategorikan sehat.

“Sementara pada yang sakit, kita belum tahu efeknya, sehingga otomatis perlu kehati-hatian dengan seyogianya tidak memberikan dahulu vaksin sampai kondisinya sehat,” kata Yayan.

Hal ini pun dibenarkan Dosen dan Epidemiolog Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unpad Dr. Yulia Sofiatin, dr., Sp.PD. Menurutnya, vaksinasi diberikan pada orang yang dikategorikan sehat, sehingga antibodi yang dihasilkan dari vaksin akan mampu melindungi serangan infeksi dari luar.

Secara sederhana, vaksinasi merupakan upaya untuk meniru proses tubuh saat tubuh terinfeksi virus. Ketika virus masuk, tubuh merespons dalam bentuk meningkatkan kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi. Vaksin berperan dalam melakukan pembentukan antibodi tersebut.

Bak teroris, virus yang masuk akan ditangkap oleh polisi yang dalam hal ini diperankan oleh antibodi. “Nanti tubuh akan melihat profil ‘teroris’ itu seperti apa, sehingga kalau kapan-kapan ada lagi, maka sudah bisa langsung bertindak. Tubuh melalui antibodi sudah tahu bagaimana melumpuhkannya,” kata Yulia.

Untuk menciptakan “polisi” yang baik diperlukan kondisi tubuh yang sehat. Karena itu, vaksinasi sebaiknya diberikan kepada orang sehat. Jika tidak sehat, kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi pada tubuh menjadi kurang.

“Kalau sakit, antibodi yang terbentuknya tidak cukup, pertahanannya akan gagal,” imbuh Yulia.

Karena itu, individu yang akan divaksinasi wajib dalam keadaan sehat. Yulia menjelaskan, seseorang dikategorikan sehat jika tubuh tidak memiliki penyakit sama sekali. “Tanda sakit yang mudah dikenali adalah demam. Kalau tubuh demam, tandanya sedang ada infeksi, sedang ada ‘musuh’. Sebaiknya tidak divaksinasi dulu,” terangnya.

Yulia melanjutkan, orang yang akan divaksinasi juga harus cukup tidur, minimal satu malam sebelum ia divaksinasi. Tidur merupakan aktivitas untuk memulihkan kembali kondisi tubuh setelah digunakan untuk beraktivitas. Jika waktu tidurnya terganggu, proses pemulihan tubuhnya menjadi tidak maksimal.

Orang Berpenyakit Boleh Divaksinasi Asal…

Yulia memaparkan, orang dengan penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes, dan jantung, tidak disarankan divaksinasi. Namun, ada kondisi yang memungkinkan seseorang dengan penyakit ini masih bisa divaksinasi.

“Kalau orang punya penyakit kronis tapi saat divaksinasi kondisinya terkendali, dia masih bisa diberikan vaksin. Yang tidak boleh itu kalau (penyakitnya) sedang tidak terkendali,” jelas Yulia.

Ia mencontohkan, apabila saat divaksinasi tensi darahnya sedang naik, kadar gulanya tinggi, hingga sedang sesak napas untuk pengidap jantung, tidak disarankan untuk divaksinasi saat itu. Orang tersebut wajib dipulihkan dulu kondisi tubuhnya.

Skrining Wajib Dilakukan

Untuk mengetahui seseorang dikategorikan sehat untuk divaksinasi, ia wajib mengikuti skrining sebelum disuntik vaksin. Yayan mengatakan, skrining wajib dilakukan untuk mengetahui kondisi tubuh seseorang.

“Peserta tidak hanya datang dan disuntik, harus diskrining dengan baik,” kata Yayan.

Ada dua tahap skrining yang dilakukan saat proses vaksinasi di lingkungan Unpad. Pertama, skrining berupa pemeriksaan suhu tubuh dan tensi darah. Kedua, skrining berupa wawancara antara petugas medis dan peserta vaksin.

Saat wawancara, Yulia menekankan untuk menjawab pertanyaan dengan jujur. Pertanyaan saat skrining sangat menentukan keselamatan peserta yang akan divaksin. Hasil skrining akan menentukan bahwa peserta tersebut layak atau tidak layak diberikan vaksin.

Yulia menegaskan, peserta wajib memberikan informasi dengan benar. Informasi sejujur-jujurnya akan membuat petugas memahami apakah peserta tersebut aman atau justru tidak aman divaksinasi. Memberikan informasi bohong akan berbahaya bagi peserta vaksin.

Antisipasi KIPI

Salah satu efek dari vaksin Corona adalah munculnya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Segala hal yang terjadi atau terasa pada tubuh pascavaksinasi dikategorikan sebagai KIPI. Jika merasakan hal ini, peserta wajib melaporkan informasi sekecil apapun kepada narahubung maupun puskesmas terdekat.

Yulia menjelaskan, semua hal yang masuk ke dalam tubuh berpotensi menimbulkan alergi, atau reaksi tubuh yang berlebihan. Reaksi ini bisa datang cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya terjadi pada 30 menit pertama setelah divaksinasi.

Karena itu, peserta wajib mengikuti observasi 30 menit pertama usai disuntik vaksin. Observasi untuk menilai apakah ada gejala yang muncul atau tidak. Jika tidak merasakan apa pun, peserta disilakan untuk pulang.

“Saat observasi kita lihat apakah ada reaksi berat atau ringan. Reaksi ini jadi informasi yang berguna untuk evaluasi selanjutnya,” Yayan menambahkan.

Sementara reaksi yang lambat akan muncul 1-2 hari kemudian. Yulia mengatakan, berbagai kejadian dan reaksi yang terjadi pascavaksinasi dikategorikan sebagai KIPI. Keseluruhan kejadian dapat dilaporkan kepada petugas sebagai KIPI. Petugas akan meneruskan laporan ini kepada Komisi Daerah KIPI.

Nantinya, Komda KIPI akan menilai apakah kejadian tersebut berkaitan dengan vaksinasi atau tidak.

Selain itu, penerima vaksin juga tetap harus mematuhi protokol kesehatan. Yayan mengatakan, Covid-19 seyogianya menjadi momentum bagi setiap individu untuk memperhatikan kesehatan tubuhnya.

“Covid-19 ini merupakan latihan agar bisa lebih baik hidupnya, lebih teratur, disiplin, dan berhati-hati dalam segala hal, di antaraya mematuhi prokes. Prokes merupakan bentuk kehati-hatian dalam berperilaki sehingga kita akan  terbiasa berperilaku sehat,” kata Yayan.*

Share this: