Akademisi Berikan Masukan Terhadap RUU Praktik Psikologi

RUU Praktik Psikologi
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Zahrotur Rusyda Hinduan, M.OP., PhD, memberikan masukan terkait RUU Praktik Psikologi saat menerima kunjungan kerja Komisi X DPR RI di RSG kampus Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Senin (5/4). (Foto: Dadan Triawan)*

[unpad.ac.id] Rancangan Undang-undang atau RUU Praktik Psikologi yang tengah dibahas di tingkat DPR seyogianya menjadi sebuah pengakuan negara terhadap praktik psikologi di Indonesia. UU ini diupayakan menjadi jaminan terhadap adanya akuntabilitas dan profesionalisme dari praktik psikologi.

“Akuntabilitas dan profesionalisme dari praktik psikologi diharapkan dapat melindungi masyarakat pengguna jasa layanan praktik psikologi dari kemungkinan penyalahgunaan atau malapraktik,” ungkap Dekan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Zahrotur Rusyda Hinduan, M.OP., PhD, saat menerima kunjungan kerja Komisi X DPR RI di RSG kampus Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Senin (5/4).

Kunker yang dilakukan tim Panja RUU Praktik Psikologi Komisi X DPR RI ini diterima secara resmi oleh Rektor Unpad Prof. Rina Indiastuti dan Wakil Rektor Bidang Organisasi dan Perencanaan Prof. Yanyan M. Yani, PhD.

Selain menjamin akuntabilitas dan profesionalisme, Fapsi Unpad juga mendukung UU ini mampu memberikan perlindungan hukum terhadap individu yang melaksanakan praktik psikologi dengan tetap dibatasi oleh aturan hukum, baik hukum administratif maupun hukum pidana.

Dekan yang akrab disapa Rosi ini menjelaskan, berdasarkan hasil pembahasan di tingkat senat fakultas, ada beberapa hal yang disorot mengenai RUU Praktik Psikologi. Menurutnya, UU perlu membedakan antara “praktik psikologi” yang didasarkan kualifikasi keprofesian dengan “penerapan” kaidah psikologi dalam pemecahan permasalahan yang didasari pengetahuan dan keterampilan.

Karena itu, UU juga perlu mendefinisikan siapa saja yang diizinkan dan memiliki kewenangan untuk melakukan praktik psikologi dengan memperhatikan kualifikasi akademiknya.

Lebih lanjut Rosi menyoroti, dari sisi substansi, layanan praktik psikologi yang dijelaskan pada Pasal 7 RUU Praktik Psikologi jangan hanya membatasi pada layanan yang selama ini sudah berjalan. UU harus mampu mengantisipasi munculnya kegiatan praktik psikologi yang baru.

Seiring berlakunya kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka Kemendikbud RI, di mana mahasiswa bisa mempelajari program studi lain, ada kemungkinan kegiatan praktik psikologi akan berbeda di masa depan.

Rosi menjelaskan, kendala pada praktik psikologi di Indonesia saat ini adalah variabilitas kualitas praktik psikologi hingga beragamnya praktik yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kualifikasi dan keahlian di bidang psikologi.

Hal ini rentan menimbulkan malapraktik pada praktik psikologi oleh individu yang tidak berkualifikasi.

“Malapraktik seperti yang disebutkan di atas dapat dhidari dengan secara tegas menyertakan dalam RUU bahwa hanya psikolog lah yang berhak melakukan praktik psikologi,” kata Rosi.

Adapun masukan tertulis dari Fapsi Unpad terhadap RUU Praktik Psikologi adalah sebagai berikut:

1. Sebaiknya hanya psikolog dan praktiknya yang diatur dalam RUU Praktik Psikologi karena kewenangan praktik hanya dimilki oleh psikolog yang telah lulus Pendidikan Profesi;

2. Lulusan strata dan jalur lainnya yang bukan lulusan program profesi, tidaklah berpraktik, tetapi lebih pada penerapan prinsip-prinsip dan teori yang dipelajarinya;

3. Lulusan S1 yang merupakan Asisten Psikolog tidak perlu (1) uji kompetensi psikologi; (2) dinyatakan lulus oleh Organisasi Profesi; dan (3) memiliki surat tanda registrasi untuk dapat menerapkan apa yang telah dipelajarinya di tempat kerja;

4. RUU Praktik Psikologi perlu menambahkan pasal tentang perlindungan terhadap kerahasiaan data konsumen/klien dan perlindungan terhadap psikolog dalam melindungi kerahasiaan data konsumen/klien;

5. Sertifikasi hendaknya lebih diarahkan menjadi upaya continuing education untuk mendapatkan kompetensi spesifik lain yang tidak didapatkan dari perguruan tinggi;

6. Diperlukan tambahan pasal-pasal yang mengatur mengenai tes psikologi, untuk meminimalisasikan abuse dan misuse tes psikologi;

7. RUU ini berisi hal-hal yang layaknya tercantum dalam AD/ART Organisasi Profesi, sehingga dapat ditinjau kembali;

8. Istilah “tenaga psikologi” adalah istilah baru yang belum pernah dipergunakan sebelumnya di lingkungan psikologi, baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Penggunaan istilah ini perlu ditinjau kembali batasan-batasannya.*

Share this: