Revisi UU ITE Harus Tetap Mempertimbangkan Keadilan

UU ITE
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, M.H., FCB., Arb., saat menjadi pembicara pada diskusi "Satu Jam Berbincang Ilmu: Polemik UU ITE” secara virtual, Sabtu (6/3).*
UU ITE
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, M.H., FCB., Arb., saat menjadi pembicara pada diskusi “Satu Jam Berbincang Ilmu: Polemik UU ITE” secara virtual, Sabtu (6/3).*

[unpad.ac.id] Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ahmad M. Ramli menilai, proses revisi yang dilakukan Pemerintah terkait UU ITE bertujuan agar Undang-undang ini lebih bagus dan tetap memberikan sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran norma di jagad siber.

“Tidak semua pasal di UU ITE salah. Tidak semua pasal di UU ITE bersoal. Karena kalau kita biarkan (menghilangkan sanksi) bisa dibayangkan orang akan dengan mudah caci maki, menipu, dan mengancam, tetapi tidak ada sanksi,” ungkap Prof. Ramil dalam diskusi “Satu Jam Berbincang Ilmu: Polemik UU ITE” secara virtual, Sabtu (6/3).

Perihal UU ITE, masyarakat perlu melihat secara obyektik. Prof. Ramli menjelaskan, UU ITE ini lahir pada 2008. Saat itu, teknologi komunikasi masih sebatas telepon dan SMS serta belum banyak yang menggunakan ponsel pintar.

Satu dasawarsa berlalu, teknologi bertransformasi kian maju.Masifnya penggunaan ponsel pintar memudahkan setiap orang untuk berbagi dan menyebarkan informasi. Hal ini melahirkan adanya kerancuan makna dalam pasal UU ITE.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo RI ini mencontohkan, pada Pasal 27 Ayat 3 misalnya. Pasal ini menyebut bahwa setiap orang dilarang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan sehingga membuatnya dapat diakses.

“Kalau disandingka dengan zaman sekarang luas sekali. Bisa saja orang itu tidak punya niat mencemarkan nama baik, maksudnya hanya mentransmisikan (tidak menyiarkan) ke pribadi, itu bisa kena,” paparnya.

Karena itu, soal pasal karet ini perlu dicermati dengan baik saat proses revisi dilakukan. Mahkamah Konstitusi sendiri sudah melakukan tinjauan yuridis terhadap Pasal 27 Ayat 3 UU ITE beberapa tahun silam. Ada keputusan yang menjadikan suatu peristiwa yang menyangkut Pasal 27 Ayat 3 bisa menjadi pidana.

“MK sendiri memutuskan bahwa pasal ini di berbagai negara ada. Tetapi penafsiran dan penerapannya tidak boleh lepas dari pasal 310 dan 311 KUHP. Sifatnya harus distribusi dan intinya ada maksud untuk mencemarkan nama baik orang lain,” ujarnya.

Jika sudah dianggap sebagai pencemaran nama baik, kasus ini bisa masuk ke dalam delik aduan. Namun, kata Prof. Ramli, seharusnya kasus pencemaran nama baik hanya boleh dilaporkan oleh korban. “Orang lain tidak boleh melapor,” kata Prof. Ramli.*

Share this: