Kisah Butet Manurung, Penggagas Sokola Rimba yang Meraih Dua Gelar Sarjana di Unpad

butet manurung
Butet Manurung. (Foto: merahputih.com)

Rilis

butet manurung
Butet Manurung. (Foto: merahputih.com)

[unpad.ac.id] Mendengar nama Saur Marlina Manurung atau yang akrab disapa Butet Manurung, akan terbayang nama besar “Sokola Rimba”. Sekolah ini bukan sekolah biasa. Ini merupakan sekolah rintisan bagi anak-anak Orang Rimba atau Suku Kubu di pedalaman hutan Jambi.

Butet Manurung merupakan orang di balik berdirinya Sokola Rimba. Berdiri sejak 2003, Sokola Rimba merupakan konsep pendidikan bagi masyarakat adat atau suku terpencil di Indonesia.

Hingga saat ini, Sokola Rimba yang kemudian berubah nama menjadi Sokola Institute sudah merintis hingga 17 program di seluruh Indonesia dan memberikan manfaat kepada lebih dari 15.000 masyarakat adat untuk bisa mengenyam pendidikan formal.

Butet merupakan alumnus dari dua program studi di Unpad, yaitu Antropologi dan Sastra Indonesia. Wanita berdarah Batak ini masuk ke program studi Antropologi FISIP Unpad pada 1991. Tiga tahun kuliah Antropologi, Butet ikut ujian masuk PTN (saat itu bernama UMPTN) dan lolos masuk program studi Sastra Indonesia Unpad.

Sejak saat itu, Butet Manurung kuliah di dua program studi. Keduanya lulus, meskipun terseok.

Dalam tulisannya di laman FISIP Unpad, Butet Manurung awalnya tidak memiliki keinginan untuk masuk Antropologi. Waktu SMA, ia justru masuk ke jurusan fisika. Matematika menjadi pelajaran yang disukainya. Pelajaran yang paling tidak disukai adalah sejarah.

“Nilai Sejarah saya merah di ijazah SMA. Lalu kemudian saya masuk Antropologi. Lucu, karena antropologi adalah cabang dari ilmu sejarah,” tulis Butet.

Selain menyenangi matematika, Butet Manurung kecil sudah menyenangi alam bebas. Idolanya adalah tokoh Dr. Henry Walton Jones, Jr., atau dikenal dengan sebutan Indiana Jones, tokoh utama pada seri film dengan nama serupa.

Indiana Jones merupakan seorang profesor arkeolog yang gemar bertualang ke alam bebas dan membantu komunitas adat untuk mempertahankan diri. Tokoh fiktif ini yang kemudian mengilhami Butet untuk memiliki cita-cita bekerja di tengah rimba.

“Sejak kecil saya bercita-cita ingin bekerja di tengah hutan, gunung atau apa saja yang penting di tengah alam. Saya sangat takut bekerja di dalam kantor dan duduk melulu,” kenang Butet Manurung.

Aktif di Palawa

Selama kuliah di Unpad, Butet Manurung aktif berkegiatan di UKM Pencinta Alam Palawa Unpad. Ia banyak melakukan ekspedisi. Mulai dari penelusuran dan pemetaan gua bersama tim putri di Sulawesi Selatan, mendaki Puncak Jayawijaya, hingga sederet aktivitas alam bebas lainnya.

Saking seringnya berkegiatan alam bebas menyebabkan kuliahnya tertunda. Butet merampungkan studi di Antropologi Unpad di tahun 1998. Di tahun itu, ia juga tengah menyusun skripsinya di Sastra Indonesia Unpad.

Ketiga aktivitasnya di Unpad, baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, dirasakan betul membentuk kepribadian dan kompetensi Butet Manurung.

Selepas lulus di Antropologi, Butet pernah bekerja sebagai asisten peneliti di Pusat Studi Wanita Unpad. Ia juga pernah menjadi pemandu di taman nasional, utamanya mendampingi para biolog maupun ilmuwan yang datang ke hutan.

Merasa kurang sreg, Butet mengundurkan diri sebagai pemandu. Ia pun melihat lowongan di surat kabar dari salah satu LSM yang bergerak di bidang konservasi di Jambi. Lembaga tersebut membutuhkan antropolog untuk menjadi fasilitator pendidikan pada komunitas Orang Rimba, atau komunitas peburu-peramu yang hidupnya nomaden.

Melihat iklan lowongan tersebut, Butet langsung jatuh hati. Baginya, pekerjaan ini adalah pekerjaan yang sempurna. Gayung bersambut, ia pun diterima bekerja di sana pada 1999.

“Buat saya pekerjaan sempurna itu melibatkan otot, otak, dan hati. Tidak boleh ada yang ketinggalan,” ungkapnya.

Butet Manurung langsung terjun ke hutan, menemui para Orang Rimba. Ia melakukan pendekatan dan penelitian untuk lebih memahami kebutuhan mereka. Dibutuhkan kurang lebih 7 bulan hingga Orang Rimba mau menerima dan akrab dengan kehadirannya.

Di lokasi kerjanya, ada 12 kelompok adat yang tersebar di area hutan seluas 60 ribu hektar tersebut. Perjalanan dari satu sisi ke sisi lain membutuhkan waktu 4 hari. Ia kunjungi satu persatu kelompok masyarakat adat tersebut.

“Saya kunjungi satu persatu. Dan satu persatu pun menolak saya,” kenangnya.

Namun, pengalaman Butet di Palawa Unpad memberi kemampuan tinggi dalam hidup di tengah rimba. Pengalaman ini juga membuatnya kuat, tidak mudah menyerah.

Butet Manurung belajar keras bahasa mereka. Ini dibutuhkan sebagai kunci untuk berkomunikasi. Tidak hanya itu, Butet pun menggunakan sandang dan hidup layaknya kebiasaan mereka. Memakai sarung berkemban, ikut berburu dan memakan apa saja yang mereka makan. Mulai dari kancil, landak, ular, hingga kelelawar.

Kegigihan Butet terbayar sudah. Ia berhasil mendekati Orang Rimba. Mulailah Butet menjadi pengajar bagi masyarakat adat tersebut.

Beruntung, pengalaman studi di Sastra Indonesia Unpad memberikan bekal baginya. Meski bukan berlatar belakang sebagai guru, pengalaman Butet akan ilmu linguistik dan menulis sangat berguna untuk menyusun bahan ajar di rimba.

Ia bahkan menemukan metode baca-tulis yang disebut Silabel. Metode ini memungkinkan seorang anak bisa membaca dalam waktu dua minggu saja.

Seiring melanglangbuananya Sokola Institute, metode ini sudah diterapkan di seluruh wilayah di Indonesia dengan mengalami penyesuaian sesuai dengan fonologi setempat.

Lembaga Pertama

Sokola Institute menjadi lembaga pertama di Indonesia yang memfokuskan diri pada pendidikan bagi masyarakat adat. Di lembaga ini, para relawan guru dituntut menjunjung tinggi keahlian sebagai antropolog.

“Pendekatan etnografi kritis adalah salah satu ilmu wajib yang harus dimiliki para guru. Kami sadar bahwa tidak ada satu budaya yang lebih baik dari budaya lain, setiap budaya adalah yang terbaik bagi pemiliknya, dan bahwa kebudayaan itu adalah penentu kebertahanan hidup satu masyarakat,” tuturnya.

Warna Sokola Institute sangat kental, setiap guru harus live in atau tinggal menetap di lapangan minimal dua tahun. Mereka juga wajib menggunakan bahasa dan beraktivitas layaknya masyarakat setempat.

Antropologi menjadi kultur utama dalam etos kerja relawan Sokola Institute di lapangan. “Saya sangat mencintai Antropologi. Menurut saya upaya kita mengenal budaya orang lain, justru membantu kita lebih mengenal diri sendiri. Ibarat kita kalau ke luar negeri, malahan kita semakin cinta tanah air kita, begitu kira-kira,” tulisnya.(arm)*

Share this: