Melestarikan Budaya Sunda Lewat Kajian Etnomatematika dan Etnoinformatika

The research team of Unpad developed a digital letter (font) of Sundanese script with phonetic method that can be used in various word processing softwares on computer. (Photo: Arief Maulana)*

Rilis

etnomatematika
Suasana seminar daring “Penerapan Etnomatematika dan Etnoinformatika untuk Pelestarian Budaya di Kabupaten Sumedang”, Sabtu (24/10) lalu.*

[unpad.ac.id, 28/10/2020] Pusat Studi Sains dan Teknologi bersama Departemen Matematika dan Departemen Ilmu Komputer FMIPA Universitas Padjadjaran menggelar seminar daring “Penerapan Etnomatematika dan Etnoinformatika untuk Pelestarian Budaya di Kabupaten Sumedang”, Sabtu (24/10) lalu.

Seminar daring ini diikuti sekira 400 peserta yang terdiri dari perwakilan guru dan siswa sekolah menengah se-Kecamatan Jatinangor. Turut hadir sejumlah dosen di lingkungan Unpad.

Kepala Pusdi Sains dan Teknologi FMIPA Unpad Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana mengatakan, kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian dosen Unpad dalam melestarikan budaya Sunda, khususnya di Kecamatan Jatinangor dan Kab. Sumedang.

“Kegiatan ini merupakan upaya melestarikan budaya Sunda melalui penerapan matematika dan informatika,” ujar Prof. Budi dalam rilis yang diterima Kantor Komunikasi Publik Unpad.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Budi menyampaikan langsung paparan mengenai etnomatematika. Penerapan matematika dalam budaya ternyata dapat diterapkan secara sederhana oleh para guru kepada siswa dalam setiap aktivitas mengajar.

[irp]

Contohnya, guru bisa menggunakan istilah-istilah yang kerap digunakan masyarakat Sunda untuk penyebutan ukuran tinggi, lebar, hingga sudut.

“Masyarakat Sunda sejak jaman dulu telah menggunakan istilah perhitungan sajeungkal, satangtung, sabuku curuk, sagantang, sakompet, dan lain-lain,” terang Prof. Budi.

Selain ukuran, ada pula beragam istilah waktu dalam bahasa Sunda. Istilah dan simbol waktu tersebut sebagian masih digunakan oleh masyarakat Sunda di wilayah pedesaan. Walakin, akan berbeda dengan di wilayah perkotaan.

Melalui kajian etnomatematika ini, siswa diharapkan dapat dikenalkan kembali beragam istilah dan simbol matematika dalam budaya Sunda.

Prof. Budi menyampaikan, kajian etnomatematika sendiri merupakan bagian dalam ilmu matematika yang ada dalam klasifikasi Mathematical Sciences Classification System (MSC) 2020 yang dikeluarkan Mathematical Review, Amerika Serikat dan zbMATH, Jerman.

Sementara paparan Etnoinformatika disampaikan langsung oleh Guru Besar Ilmu Komputer FMIPA Unpad Prof. Dr. Atje Setiawan Abdullah. Pembahasan etnoinformatika dalam seminar daring ini menyasar pada aspek antroponimi atau penamaan orang-orang dengan lokasi di Sumedang.

“Kajian Antroponimi ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagimana penamaan orang di Sumedang dikaitkan dengan budaya dalam seratus tahun terakhir, didukung dengan aplikasi Antroponimi yang dibangun menggunakan program Java,” kata Prof. Atje.

[irp]

Penerapan Antroponimi dengan mengeksplorasi pangkalan data penduduk di kabupaten Sumedang tahun 2019, hasil sensus dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kab. Sumedang.

Hasil pengolahan data menggunakan aplikasi menunjukkan 10 nama awal orang yang paling banyak digunakan atau paling favorit di Sumedang. Sepuluh nama tersebut antara lain “Muhammad”, “Muhamad”, “Asep”, “Siti”, “Agus”, “Dede”, “Ade”, “Ai”, “Tati”, dan “Dadang”.

Prof. Atje menjelaskan, pemberian nama awal di wilayah pedesaan dan perkotaan Kab. Sumedang sebagian besar masih mempertahankan budaya Sunda. Hal ini didasarkan atas makna dari nama yang kerap digunakan tersebut.

“Kesamaan nama diri memiliki makna, orang Sumedang itu memiliki karakter kasih sayang, religius, menghormati leluhurnya, memiliki perasaan halus, pekerja keras, mandiri, mempunyai harapan dan komunikatif. Selain itu setiap lokasi memiliki nama diri sebagai ciri khas masing-masing,” paparnya.

Sementara 10 nama awal favorit di Sumedang dalam sepuluh tahun terakhir antara lain: “Naura”, “Arsyla”, “Keyla”, “Raffa”, “Rafka”, “Aqila”, “Zahra”, “Keusha”, dan “Alesha”. Munculnya nama-nama baru ini diambil dari serapan budaya lain.

“Penggunaan nama baru ini dipengaruhi oleh perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi,” kata Prof. Atje.

Diharapkan, hasil kajian ini dapat memberikan masukan bagi masyarakat maupun pemerintah daerah untuk mampu mempertahankan kearifan lokal, khususnya penamaan nama orang di Sumedang.

Penelitian tentang Etno-informatika ini juga menjadi bagian topik kajian dalam Konsorsium Internasional Research Innovation and Staff Exchange Social Media Analytics (RISE_SMA) yang didnanai European Union periode 2019-2022.(arm)*

Share this: