Konsep Familiaritas Bahasa untuk Terapi Pasien Afasia Antarkan Riki Nasrullah Jadi Doktor Neurolinguistik

Laporan oleh Artanti Hendriyana

neurolinguistik
Riki Nasrullah saat membacakan ringkasan disertasinya pada Sidang Promosi Doktor Program Studi Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran yang digelar secara daring, Rabu (30/9).*

[unpad.ac.id, 3/10/2020] Proses penyembuhan pasien dengan penyakit afasia, atau gangguan kemampuan berbahasa akibat kerusakan pada korteks, di sejumlah rumah sakit Indonesia umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, belum tentu pasien memiliki kedekatan secara emosional, sosial, dan struktural dengan bahasa Indonesia.

Untuk itulah, Riki Nasrullah menawarkan adanya konsep familiaritas bahasa pada terapi penyembuhan pasien afasia. Hal tersebut tertuang dalam disertasinya berjudul ”Ekspresi Verbal, Pola Pemulihan Kompetensi Bahasa, dan Efek Transfer Lintas Linguistik Afasia Bilingual Sunda-Indonesia: Kajian Neurolinguistik”.

“Saya tawarkan berupa konsep familiaritas bahasa. Dengan asumsi bahwa bahasa yang memiliki kedekatan emosional, sosial, dan struktural dengan pasien akan meningkatkan potensi pasien untuk pulih,” ujar Riki saat dihubungi Kantor Komunikasi Publik (KKP) Unpad, Sabtu (3/10).

[irp]

Hal tersebut terbukti dalam penelitian Riki pada sejumlah pasien di dua rumah sakit yang berlokasi di Jakarta dan Bandung. Pasien yang memiliki kedekatan dengan bahasa Sunda, lebih cepat proses pemulihannya jika terapi menggunakan bahasa Sunda.

Riki mengungkapkan, salah satu pasien dalam penelitiannya lahir di Bandung, lama tinggal di Bandung, dan kesehariannya menggunakan bahasa Sunda. Artinya pasien memiliki lebih memiliki kedekatan emosional, struktural, dan sosial dengan bahasa Sunda ketimbang bahasa Indonesia.

Ketika pasien dicoba terapi menggunakan bahasa Indonesia, kemampuan bahasa pasien sulit muncul. Namun ketika dicoba menggunakan bahasa Sunda, terjadi peningkatan kemampuan yang sangat signifikan.

“Dari sini saya bisa menarik kesimpulan bahwa dalam proses terapi wicara ini para terapis, para dokter, dan rumah sakit perlu mempertimbangkan aspek bahasa ini. Aspek latar belakang kebahasaan, bagaimana kedekatan pasien dengan bahasanya,” ujar Riki yang merupakan penerima Bidikmisi tahun 2012.

[irp]

Melalui penelitian tersebut Riki juga ingin memberi masukan pada aturan tata laksana peraturan Kementerian Kesehatan RI mengenai terapi pada pasien afasia.  Proses pemulihan pasien diharapkan akan lebih efektif jika mempertimbangkan aspek kedekatan bahasa dengan pasien.

“Proses penyembuhan afasia ini kan agak lama. Saya menemukan ada satu titik kritis yang perlu diperhatikan, yaitu pasien ini tidak dihubungkan familiaritas bahasanya. Harapannya dengan ada ya penelitian ini, pihak-pihak terkait bisa duduk bersama membicangkan masalah ini dan hasil penelitian saya ini bisa diaplikasikan,” harap pria asal Sukabumi ini.

Dikatakan Riki, penelitian neurolinguistik sendiri belum banyak dilakukan di Indonesia. Begitu juga Doktor di bidang ini. Riki pun menjadi Doktor neurolinguistik pertama di Unpad.

[irp]

Riki lulus pada program Doktor Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Unpad pada 30 September 2020, di usianya yang menginjak 26 tahun. Pada sidang yang digelar secara daring tersebut, ia dinyatakan lulus dengan predikat “dengan pujian”.

“Mudah-mudahan hasil penelitan ini bisa bermanfaat bagi perkembangan lingustik dan neurolinguistik. Mudah-mudahan hasil penelitian saya juga bermanfaat dan menjadi pelengkap di dunia medis. Peran bahasa juga tidak bisa dilupakan dalam dunia medis khususnya pada pasien afasia,” harapnya.

Pada sidang yang diketuai Yuyu Yohana Risagarniwa, M.Ed., Ph.D. tersebut dihadiri juga oleh Prof. Dr. Cece Sobarna, M.Hum (Sekretaris),  Prof. Dr. Dadang Suganda., M.Hum.(Ketua Tim Promotor), Dr. Wagiati, M.Hum. (Anggota Tim Promotor), Nani Darmayanti, Ph.D. (Oponen Ahli). Dr. Wahya, M.Hum. (Oponen Ahli), Dr. Vitriana Biben, dr., Sp.KFR. (K) (Oponen Ahli), dan Prof. Dr. Eva Tuckyta Sari S., M.Hum. (Representasi Guru Besar).(arm)*

Share this: