Melihat Pandemi Covid-19 dalam Kacamata Sosial Budaya

Laporan oleh Arif Maulana

covid-19; sosial; budaya; mudik; berita unpad; flu spanyol;
Kampus Iwa Koesoemasoemantri Unpad, Bandung. (Foto: Kantor Komunikasi Publik Unpad)*

[unpad.ac.id, 14/5/2020] Dampak penyebaran pandemi Coronavirus (Covid-19) tidak hanya terlihat pada sektor kesehatan saja. Pandemi yang telah merenggut korban jiwa sebanyak 297.552 orang dari seluruh dunia berdasarkan data Worldometers, 14 Mei 2020, juga berdampak di sektor sosial budaya.

Guna menangani dampak pandemi Covid-19 di aspek sosial budaya, sejumlah guru besar Universitas Padjadjaran memberikan sejumlah gagasannya dalam Webinar Dewan Profesor Unpad Pokja Sosiohumaniora, Kamis (14/5).

Dalam webinar tersebut, guru besar yang menjadi pembicara antara lain, Prof. Dr. Sucherly (FEB), Prof. Dr. Huala Adolf (FH), Prof. Dr. Reiza D. Dieanputra (FIB), serta Prof. Dr. Nandang Alamsah Deliarnoor, Prof. Dr Arry Bainus, dan Prof. Opan S. Suwartapradja (FISIP). Webinar dimoderatori Prof. Dr. Efa Laila Fakhriah.

Dalam kacamata ekonomi, Prof. Sucherly menjelaskan, perubahan situasi saat Covid-19 berpotensi melahirkan ancaman pelemahan ekonomi. Karena itu, diperlukan strategi yang baik untuk menghasilkan keputusan kebijakan yang tepat.

Prof. Sucherly menilai, kunci utama perumusan strategi yang baik adalah data informasi yang tepat. “Dalam hal keputusan dibuat, strategi harus melihat posisi, posisi harus berdasarkan situasi. Kalau tidak tahu situasi sulit melihat posisi. Kalau informasinya salah, situasi salah, posisi salah, akibatnya strategi salah. Kuncinya adalah informasi yang valid,” jelasnya.

Di sektor hukum, Prof. Huala Adolf fokus berbicara mengenai dampak Covid-19 pada aktivitas perdagangan. Menurutnya, pandemi Covid-19 berisiko melahirkan kondisi force majeure, atau keadaan memaksa yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya dan tidak dapat dihindari.

Force majeure di masa Covid-19 terlihat di sektor publik ataupun privat. Di sektor publik, pandemi berpotensi meningkatkan utang negara. Sementara di sektor privat, ada banyak usaha yang terdampak akibat Covid-19.

Karena itu, Prof. Huala menyarankan untuk membuat klausul penyelesaian sengketa dalam setiap perjanjian perdagangan sebagai langkah antisipasi jika terjadi force majeure. Selain itu, pihak terdampak harus segera memberikan notifikasi kepada pihak lain dalam perjanjian supaya bisa dilakukan mitigasi.

Pandemi Covid-19 juga berdampak melahirkan adanya kebijakan yang tidak tepat. Menurut Prof. Nandang Alamsah, mengutip penjelasan dari ahli kebijakan publik George C. Edwards III, kebijakan yang menemui masalah di antaranya terjadi pada kebijakan yang baru atau didesentralisasikan, kebijakan kontroversial, kebijakan kompleks, hingga kebijakan yang lahir pada masa krisis.

Agar masalah kebijakan tersebut dapat diredam, harus ada upaya bersama untuk menindaklanjutinya. Prof. Nandang menjelaskan, tindak lanjut kebijakan harus terus diupayakan oleh sektor eksekutif, dilakukan pengawasan oleh sektor legislatif, dilakukan peninjauan judisial, serta perbaikan lain yang bersifat potensial.

“Kemitraan  juga menjadi penting dilakukan agar permasalahan kebijakan tersebut dapat selesai dengan baik,” kata Prof. Nandang.

Kondisi pandemi di dunia ternyata tidak hanya terjadi saat ini saja. Dalam catatan sejarah peradaban manusia, dunia setidaknya mengalami 3 kali masa pandemi yang merenggut banyak korban jiwa, yaitu pandemi Justinian Plague pada 541 – 542 M (30 – 50 juta jiwa), Black Death pada 1347 – 1351 (200 juta jiwa), dan Flu Spanyol pada 1918 – 1919 (40 juta jiwa).

Menurut Prof. Reiza, upaya penanganan pada tiga masa pandemi tersebut berkaitan erat dengan perkembangan peradaban manusia. Penanganan bergerak dari cara tradisional ke modern, ataupun gabungan keduanya. Namun, di antara keberagaman tersebut, upaya karantina menjadi penanganan yang umum dilakukan.

“Pengobatan Timur, dengan tokohnya Ibnu Sina (980-1037) dapat dikatakan sebagai salah satu konseptor awal tentang karantina, yang disebut metode Al-Arba’iniyyat berupa metode isolasi selama 40 hari,” papar Prof. Reiza.

Selanjutnya, Prof. Arry menjelaskan, pandemi Covid-19 juga mengancam keamanan manusia. Walau bergerak di sektor keamanan kesehatan, dampaknya bisa meluas hingga mengancam keamanan politik hingga ekonomi.

Dampak nyata ancaman pandemi bagi stabilitas negara adalah munculnya ketidakpercayaan publik terhadap negara. Kondisi ini dapat mengikis keseluruhan legitimasi pemerintahan. Selain itu, pandemi juga berdampak buruk pada fondasi ekonomi.

“Ekonomi akan sangat dipengaruhi oleh hilangnya tenaga kerja produktif serta pengurangan investasi modal eksternal yang berpotensi mengurangi Produk Domestik Bruto,” kata Prof. Arry.

Prof. Opan sendiri berbicara mengenai aktivitas mudik di masa Pandemi Covid-19. Sebagai tradisi yang lumrah dilakukan menjelang Hari Raya Idulfitri, mudik akan selalu identik dengan aktivitas utama manusia, yaitu mobilitas.

Mengenai larangan mudik di masa pandemi ini, Prof. Opan menerangkan, akan ada masyarakat yang sadar dan tidak sadar atau abai terhadap larangan tersebut. Ketidaktaatan pada peraturan pembatasan sosial ini yang akan berdampak pada semakin rentannya pandemi ini meluas.*

Share this: