Lewat Riset, Guru Besar FK Unpad Temukan Upaya Menurunkan Angka Kematian Akibat Meningitis Tuberkulosis

[unpad.ac.id, 3/8/2018] Penyakit meningitis tuberkulosis (TB) atau tuberkulosis yang menyerang selaput otak, lebih berbahaya dibanding TB yang menyerang paru-paru. Data menunjukkan, dari 10 pengidap meningitis TB, sebanyak 5 -7 jiwa tidak dapat terselamatkan.

Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Prof. Rovina Ruslami, dr., SpPD, PhD, (kedua dari kiri), saat menjadi pembicara dalam diskusi Riung Karsa bertajuk “Tantangan Pengobatan TBC pada Selaput Otak” di Taman Bale Rumawat kampus Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Jumat (3/8). Dalam diskusi tersebut, hadir Rektor Unpad Prof. Tri Hanggono Achmad, Direktur Kerja Sama dan Korporasi Akademik Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dan dipandu moderator Wakil Rektor Bidang Riset, Pengabdian pada Masyarakat, Kerja Sama, dan Korporasi Akademik Unpad Dr. Keri Lestari, M.Si., Apt. (Foto: Tedi Yusup)*

Menurut guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Prof. Rovina Ruslami, dr., SpPD, PhD, selama ini pengobatan meningitis TB mengacu pada aturan pengobatan TB paru-paru.  Ini disebabkan, belum ada dasar penelitian mengenai pengobatan meningitis TB secara global, sehingga acuannya masih mengikuti dosis pengobatan TB paru-paru.

“Sifat dari selaput otak itu sangat susah dilewati obat. Hanya 10% yang bisa menembus selaput otak. Kalau dia cukup dosisnya di paru-paru, jelas tidak cukup untuk di otak,” ujar Prof. Rovina saat menjadi pembicara dalam diskusi “Riset Unggulan Unpad dan Kerja Sama untuk Masyarakat Sejahtera (Riung Karsa)” di Taman Bale Rumawat Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Jumat (3/8).

Diskusi Riung Karsa kali ini menghadirkan Rektor Unpad Prof. Tri Hanggono Achmad, Direktur Kerja Sama dan Korporasi Akademik Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dan dipandu moderator Wakil Rektor Bidang Riset, Pengabdian pada Masyarakat, Kerja Sama, dan Korporasi Akademik Unpad Dr. Keri Lestari, M.Si., Apt.

Selama bertahun-tahun, Prof. Rovina bersama peneliti lainnya melakukan penelitian mengenai pengobatan meningitis TB. Ia berfokus pada penggunaan obat rifampisin, obat utama untuk TB paru-paru yang dinilai sangat kuat tetapi lebih ramah efek sampingnya dibanding obat TB lainnya.

Berdasarkan kasus sedikitnya obat yang bisa menembus selaput otak, Prof. Rovina mengeksplorasi peningkatan dosis rifampisin pada penderita meningitis TB. Tentunya, eksplorasi ini dilakukan kajian yang mendalam dan hati-hati, mengingat proses uji klinik ini melibatkan manusia.

“Uji klinik ini merupakan penelitian tertinggi levelnya dalam penelitian dan tidak main-main. Itu dikaji dengan ketat oleh komite etik dan badan khusus yang mengawasinya,” terang Prof. Rovina.

Tidak main-main, hampir 8 tahun Prof. Rovina melakukan uji klinik ini. Uji dilakukan kepada pengidap meningitis TB secara langsung. Pemberian rifampisin dengan dosis yang ditingkatkan sedikit demi sedikit ini tidak bisa secara oral atau diminumkan kepada pasien. Ini disebabkan, seluruh pasien meningitis TB hampir dipastikan berada dalam kondisi tidak sadar.

“Kita lakukan secara injeksi, diberikan melalui infus,” jelasnya.

Namun, kehati-hatian ini berbuah baik. Peningkatan dosis rifampisin sedikit demi sedikit ternyata menekan angka kematian akibat meningitis TB hingga setengahnya. Hingga saat ini, penelitian yang dilakukan Prof. Rovina berhasil menaikkan dosis menjadi tiga kali lipat dari dosis yang selama ini ditetapkan.

Guru besar bidang Ilmu Farmakologi dan Terapi ini menuturkan, peningkatan dosis rifampisin ternyata tidak menimbulkan efek samping yang signifikan. Hasil penelitiannya, efek samping pasien yang mendapat rifampisin dosis tinggi ternyata sama dengan orang yang dapat dosis biasa.

Peroleh hibah internasional

Dalam melakukan penelitian ini, Prof. Rovina tidak sendiri. Dengan dibimbing Prof. Tri Hanggono, bersama dr. Ahmad Rizal Ganiem, Sp.S(K), PhD, tim dari Departemen Neurologi Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, serta tim peneliti dari Radboud University Medical Nijmegen, Belanda, Prof. Rovina melakukan penelitian ini.

Berawal dari program pascadoktoral-nya di Belanda, Prof. Rovina mendapat hibah dari Pemerintah Belanda dan dilanjutkan Hibah Andalan Unpad untuk penelitian mengenai meningitis TB. Hasil penelitian tersebut kemudian mampu dipublikasikan di jurnal internasional.

Tanpa disadari, internasional merespons hasil penelitian Prof. Rovina. Kemudian, Prof. Rovina mendapat hibah penelitian BOPTN Unpad untuk penelitian kedua, serta hibah PEER Health dari Amerika Serikat dan PSKLN Kemenristekdikti untuk penelitian ketiga.

Dari penelitian ketiga inilah dihasilkan peningkatan dosis rifampisin tiga kali lipat untuk mengobati meningitis TB. Hasil penelitian ini kembali lolos dipublikasikan di jurnal internasional terindeks Scopus.

“Tetapi, ini masih penelitian. Dalam dunia kedokteran, segala sesuatu itu sangat hati-hati. Ujian terakhir, dilakukan penelitian skala besar, melibatkan banyak pasien dari berbagai benua,” paparnya.

Untuk itu, dalam waktu dekat, tim peneliti berkolaborasi dengan konsorsium meningitis TB internasional akan melakukan penelitian dalam skala besar. Penelitian yang melibatkan lima negara, yaitu Uganda, Afrika Selatan, Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesia ini didanai penuh oleh Badan Riset Medis  atau Medical Riset Council (MRC) di Inggris.

Jika hasil penelitian besar itu berhasil dan tetap aman, metode pengobatan meningitis TB akan berubah. Harapannya, temuan Prof. Rovina dan tim ini bisa diajukan sebagai rekomendasi panduan pengobatan meningitis TB kepada Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO).

Hindari Merokok

Prof. Rovina mengatakan, dari penelitiannya, meningitis TB banyak menyerang kelompok usia produktif, yaitu antara usia 20 – 30 tahun. Satu dari tiga manusia di bumi berpotensi memiliki kuman TB.

“Jika lingkungan berpengaruh,kuman TB akan bergerak/membelah diri. Yang bisa melindungi TB berkembang biak adalah sistem imun pada tubuh,” kata Prof. Rovina.

Meski 10% dari penduduk bumi memiliki kuman TB, kuman ini tidak akan berkembang biak jika sistem imun tubuhnya bagus. Jika sistem imunnya menurun, kuman TB akan mudah menyerang. Menjaga hidup sehat merupakan upaya efektif dalam meningkatkan sistem imun dalam tubuh.

Perokok, lanjut Prof. Rovina, sudah terbukti sebagai faktor risiko terjangkit TB. Jadi, larangan merokok sudah tidak diragukan lagi.

“Tidak ada sedikit pun keraguan melarang merokok karena banyak mudaratnya. Dengan TB, sudah jelas,” kata Prof. Rovina.*

Laporan oleh Arief Maulana

Share this: