Prof. Suryani: Pemulihan Gangguan Jiwa Butuh Dukungan Seluruh Pihak

[unpad.ac.id, 9/02/2018] Penanganan gangguan jiwa di Indonesia masih mengandalkan obat sebagai terapi utama. Padahal, penyebab gangguan jiwa itu multikompleks. Sudah saatnya mengatasi penyakit tersebut dengan pemberdayaan pasien, melalui sebuah proses recovery dengan dukungan dari lingkungan, masyarakat, pemerintah, dan tenaga kesehatan.

Prof. Suryani, S.Kp., MHSc., Ph.D. (Foto: Tedi Yusup)*

“Trend pelayanan global untuk mengatasi gangguan jiwa sudah bergerak ke arah pemberdayaan individu yang mengalami gangguan jiwa melalui sebuah proses recovery dengan dukungan dari lingkungan, masyarakat, pemerintah, dan tenaga kesehatan. Dibutuhkan pelayanan yang memadai di masyarakat untuk mendukung proses recovery orang yang mengalami gangguan jiwa. Sudah saatnya ada community mental health center  dengan fasilitas dan tenaga professional dibidang kesehatan jiwa,” ujar Prof. Suryani, S.Kp., MHSc., Ph.D.

Prof. Suryani menyampaikan hal tersebut saat membaca orasi ilmiah berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Keperawatan Jiwa pada Fakultas Keperawatan Unpad, di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung, Jumat (9/02). Orasi ilmiah tersebut berjudul Pendekatan “Model Recovery sebagai Alternatif dalam Penyembuhan dan Pemulihan Gangguan Jiwa Kronis”.

Diungkapkan Prof. Suryani,  gangguan jiwa merupakan salah satu penyakit yang sedang dan menjadi trend global. Secara global, 1 dari 4 orang menderita gangguan jiwa baik di negara maju maupun negara berkembang. Penyakit ini bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Di Indonesia, dengan jumlah penduduk 251 juta, prevalensi gangguan jiwa berat termasuk skizofrenia meningkat dari 0,5% (2007) menjadi 1,7% (2013).

“Program penanganan gangguan jiwa yang ada di Indonesia hingga saat ini masih berfokus pada pengobatan dan mengandalkan rumah sakit jiwa sebagai pelayanan utama bagi penderita gangguan jiwa, sehingga banyak penderita yang kambuh setelah pulang ke rumah,  disebabkan tidak adanya pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat. Keadaan ini tidak cost efektif, karena jika pasien sering kambuh maka biaya akan lebih sering dan lebih banyak dikeluarkan,” ujar Prof. Suryani.

Puskesmas sebagai pelayanan primer yang ada di masyarakat pun belum melaksanakan program kesehatan jiwa sebagaimana seharusnya. Program kesehatan jiwa yang ada dan terlaksana di puskesmas adalah pendataan pasien.

“Program lainnya seperti layanan konseling, health promotion, dan lain – lain tidak berjalan. Bahkan obat untuk penderita gangguan jiwa di Puskesmas sering tidak ada. Di Puskesmas tidak ada psikiater, psikolog, atau perawat jiwa,” ujar perempuan kelahiran Pariaman, 2 Februari 1968 ini.

Recovery yang dijalani pasien bukan hanya untuk sekadar pulih dari penyakit, tapi untuk membuat kehidupan orang yang mengalami keterbatasan akibat penyakitnya menjadi lebih berarti. Recovery menekankan bahwa meskipun individu tidak bisa mengontrol gejala penyakitnya tapi mereka bisa mengontrol kehidupan mereka.

“Yang dibutuhkan dalam proses recovery adalah menemukan dan menghadapi setiap tantangan dari keterbatasan akibat penyakit yang diderita dan membangun kembali integritas diri yang baru yang lebih berarti agar individu bisa hidup, bekerja, dan berkontribusi di masyarakatnya. Karena itu selama menjalani proses recovery, individu membutuhkan dukungan dari lingkungan. Mereka membutuhkan supportive environment dari keluarga, tetangga, masyarakat, pemerintah, dan swasta,” kata Prof. Suryani.*

Laporan oleh Artanti Hendriyana/am

 

Share this: