Indonesian Corruption Watch: Masyarakat Ikut Andil Berantas Korupsi

[unpad.ac.id, 16/10/2017] Masyarakat Indonesia menilai pemerintah sudah cukup serius dalam memberantas korupsi. Demikian disampaikan organisasi nonpemerintah antirasuah Indonesia ICW berdasarkan hasil survei yang dilakukan bersama lembaga survei Polling Center pada April – Juni 2017.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama Satrya Langkun (tengah) saat menjelaskan hasil survei yang dilakukan ICW bersama lembaga survei Polling Center dalam acara Dialog Antikorupsi & Pendidikan Antikorupsi, di Auditorium Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja FH Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Senin (16/10). (Foto: Tedi Yusup)*

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama Satrya Langkun mengatakan, dalam sruvei yang dilakukan kepada 2.235 responden dari 34 provinsi di Indonesia, secercah harapan muncul kepada pemerintah dalam hal memberantas praktik korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga antirasuah pemerintah mendapat apresiasi tinggi dari responden.

Dalam acara Dialog Anti Korupsi yang digelar di Auditorium Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Senin (16/10), Tama menjelaskan, survei ini dilakukan menyasar pada sekelompok responden antara usia di bawah 19 tahun dan di atas 19 tahun. Pihaknya juga mengelompokkan responden berdasarkan tingkat pendidikan dan rerata pendapatannya.

Pada survei tersebut, responden menilai KPK sebagai lembaga yang paling aktif memberantas korupsi (63%), disusul dengan presiden (37%), dan kepolisian (28%). Di sisi lain, responden juga menilai masyarakat sipil memiliki andil dalam memberantas korupsi (15%).

“Sebanyak 54% responden masyarakat menyatakan mau aktif terlibat memberantas korupsi,” imbuh Tama.

Kepuasan masyarakat akan kinerja pemerintah tampak dari penilaian responden terhadap KPK. Sebanyk 12% persen responden menyatakan sangat puas, dan 58% menyatakan puas. Tingkat ketidakpuasan terhadap KPK menurun 1% dibanding suvei 2016, yaitu 24% dari sebelumnya 25%. Namun, terjadi peningkatan faktor paling tidak puas sebesar 1% dibanding 2016.

Secara dasar, survei tahun ini menunjukkan praktik suap dan korupsi mulai dianggap tidak wajar oleh masyarakat. Tama menjelaskan, responden dengan tingkat pendidikan tinggi dan memiliki pendapatan di atas Rp 3 juta rupiah/bulan merupakan responden yang paling banyak mengecam tindak korupsi.

“Ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan sangat berpengaruh pada kesadaran orang akan tindakan korupsi,” ujar Tama.

Jika dilihat dari segi pengalaman, sebagian besar responden memiliki pengalaman terkena praktik korupsi. Tiga pengalaman terbesar praktik korupsi adalah ketika melamar kerja (56%), di tingkat polisi (50%), dan saat berhadapan dengan pelayanan instansi pemerintahan (48%).

Di tingkat lembaga pendidikan, responden melihat praktik suap terjadi di perguruan tinggi memiliki (27%) dan tingkat sekolah (23%).

Tama mengatakan, hasil survei ini hanya sebagai representasi sudut pandang masyarakat terhadap praktik korupsi. Untuk bisa memberantas korupsi seluruhnya, dibutuhkan kerja sama komprehensif antara pemerintah, aparat, masyarakat sipil dan perguruan tinggi.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Agustinus Pohan, S.H., M.S., menyebut munculnya pernyataan tidak wajar terhadap praktik korupsi dari responden berpendidikan tinggi dan berpenghasilan di atas 3 juta memiliki sisi tersendiri. Sebagai kelompok pembayar pajak, responden tersebut merasa berhak atas layanan yang baik tanpa adanya praktik korupsi.

“Tetapi jika masyarakat yang tidak membayar pajak tidak merasa mempunyai hak atas pelayanan. Maka ketika ada tuntutan pembayaran pelayanan, hal ini akan dianggap wajar oleh mereka,” Agustinus menerangkan.

Untuk itu, Agustinus mendorong agar pendidikan antikorupsi harus diajarkan sejak pendidikan dasar. “Masyarakat semua punya hak untuk mendapatkan pelayanan bersih korupsi, meskipun ia bukan seorang wajib pajak,” kata Agustinus.

Acara yang digelar atas kerja sama FH Unpad, FH Unpar, dan USAID ini juga diisi dengan dialog mengenai pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi. Sesi dialog tersebut diisi dengan pembicara Laode M. Syarif, S.H., LL.M. PhD, Fabianus Sebastian Hetauban Pr., drs., SLL., dan Dr. Sigid Suseno, M.Hum.*

Laporan oleh Arief Maulana

Share this: