Chay Asdak, PhD., “Tak Punya Manajemen Air, Kekeringan dan Banjir Akan Terus Terjadi”

Para narasumber dan moderator Unpad Merespons bertema "Kemarau Kekeringan, Musim Hujan Kebanjiran” di Executive Lounge Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Jumat (28/08). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 28/08/2015] Berbagai permasalahan lingkungan kerap terjadi akhir-akhir ini. Ketika musim hujan, sejumlah daerah mengalami kebanjiran. Sementara di musim kemarau, sejumlah daerah mengalami kekeringan bahkan berkepanjangan. Lalu, ada apa sebenarnya?

Para narasumber dan moderator Unpad Merespons bertema "Kemarau Kekeringan, Musim Hujan Kebanjiran” di Executive Lounge Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Jumat (28/08).  (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Para narasumber dan moderator Unpad Merespons bertema “Kemarau Kekeringan, Musim Hujan Kebanjiran” di Executive Lounge Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Jumat (28/08). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Pakar Hidrologi dan Lingkungan Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, Ph.D., mengungkapkan bahwa yang terjadi adalah krisis manajemen air. Kita mengalami kekeringan, padahal kita sebenarnya memiliki banyak air. Ini menunjukkan air yang ada tidak tertahan dengan baik.

“Prinsipnya adalah menahan sebanyak dan selama mungkin air,” ujar Chay dalam acara Unpad Merespons bertema “Kemarau Kekeringan, Musim Hujan Kebanjiran”, di Executive Lounge, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Jumat (28/08). Menurutnya, dengan manajemen air, banjir dan kekeringan dapat terhindar.

Di Jawa Barat, kebutuhan air pertahun adalah 34,3 miliar m3, sementara ketersediaan berkisar 66,18 m3. Artinya, potensi pertahun masih cukup besar. Namun demikian, masih terjadi defisit air di musim kemarau karena dari total suplai air, hanya 6,8% yang dimanfaatkan. Sekitar 90% terbuang atau menjadi banjir.

Pembicara lain, Ketua Dewan Walhi Jawa Barat, Adang Kusnadi, S.E, mengatakan bahwa bencana perubahan iklim yang terjadi saat ini terjadi akibat jejak krisis ekologi. Perilaku manusia terhadap alam telah menyebabkan dampak yang tidak proporsional. Terjadinya banjir dan kekeringan merupakan sebagian respon alam terhadap perubahan bentang alam yang terjadi.

Adang menyebutkan, keseimbangan alam berubah menjadi penyebab air melimpah ruah di musim hujan, sementara kelangkaan dan kekurangan air tak terhindarkan di musim kemarau, meskipun kita hidup di lumbung dan ladang air. Menurutnya, pemerintah harus memastikan perlindungan akses dan aset sumber kehidupan, serta menjamin pengakuan atas pengetahuan dan kearifan lokal yang ada di masyarakat.

Pada kesempatan tersebut, budayawan Sunda dan pemerhati lingkungan, Aat Soeratin berbicara mengenai tata ruang berbasis kearifan lokal. Saat ini, menjadi ironi ketika banyak terdapat ahli lingkungan yang cukup ilmunya, ada institusinya, dan tersedia biayanya, tetapi tetap terjadi banjir, ledakan sampah, pencemaran udara, polusi tanah, pengotoran sungai, kebakaran hutan, perusakan terumbu kerang dan sebagainya.

Penyebabnya, karena ilmu yang ada tidak sesuai dengan tingkah laku di kehidupan . “Jadi ilmu pengetahuan itu tidak mengejawantah pada laku budaya kita, sehingga tidak berwujud pada kehidupan,” ujar Aat.

Dengan demikian, sangat penting bagi kita untuk menjaga kesetimbangan ekosistem. Pola hubungan yang baik antar manusia dengan lingkungannya adalah pola timbal balik subyek-subyek (pola interaksi yang eksploratif), bukan pola hubungan timbal balik subyek-obyek (pola interaksi yang eksploitatif).

Di Bandung, berbagai upaya pun telah dilakukan sebagai kegiatan adaptif terhadap perubahan iklim. Salah satunya adalah gerakan sejuta biopori. “Secara kolaboratif dibantu oleh banyak organisasi lingkungan dalam melakukan, baik mitigasi maupun rehablitasi perubahan iklim di Kota Bandung, “ ungkap Kepala Divisi Rehabilitasi Lingkungan Badan Pengelola Lingkugan Hidup (BPLH) Kota Bandung, Ir. Ayu Sukenjah, M.Si.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Unduh Materi Narasumber:

Share this: