Sumbang Saran bagi Komunikasi Politik Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla

Para narasumber diskusi Unpad Merespons bertema "Komunikasi Politik Kabinet Kerja Joko Widodo - Jusuf Kalla" di Executive Lounge Unpad Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, Rabu (3/06). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 3/06/2015] Berbagai permasalahan komunikasi politik yang timbul di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, menunjukkan bahwa diperlukan tim komunikasi yang profesional bagi kepresidenan. Tim komunikasi yang saat ini telah ditunjuk, dituntut untuk memiliki strategi khusus komunikasi politik.

Para narasumber diskusi Unpad Merespons bertema "Komunikasi Politik Kabinet Kerja Joko Widodo - Jusuf Kalla" di Executive Lounge Unpad Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, Rabu (3/06). (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Para narasumber diskusi Unpad Merespons bertema “Komunikasi Politik Kabinet Kerja Joko Widodo – Jusuf Kalla” di Executive Lounge Unpad Jln. Dipati Ukur 35 Bandung, Rabu (3/06). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Dosen Komunikasi Politik Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad, Dr. Evie Ariadne Shinta Dewi, M.Pd mengatakan bahwa salah satu strategi yang bisa digunakan oleh tim komunikasi Jokowi adalah menggunakan Political Public Relations.

“Sesungguhnya Political Public Relations ini bisa menjadi panasea untuk persoalan-persoalan komunikasi politik,” ujar Dr. Evie saat menjadi salah satu pembicara pada acara Unpad Merespons bertema “Komunikasi Politik Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla” di Executive Lounge Lantai 2, Gedung 2 Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Rabu (3/06).

Menurut Dr. Evie, dua kata kunci dalam Political Public Relations adalah “two way communication” dan “listening”. “Jadi yang perlu dilakukan Jokowi adalah membangun komunikasi dua arah dan mau lebih banyak mendengar,” tuturnya.

Selain itu, Jokowi juga dapat mengoptimalkan tim komunikasinya untuk membangun komunikasi politik efektif dengan para interest groups agar mereka dapat membantu memformulasikan kebijakan-kebijakan presiden serta mengamankan kebijakan tersebut di DPR. Misalnya, kebijakan sensitif yang akan berdampak langsung atau tidak langsung pada rakyat, seperti pembubaran Petral, penetapan harga BBM, mengenai kriminalisasi KPK, dan sebagainya.

“Jadi saya menyarankan kebijakan yang sensitif itu yang berdampak langsung kepada masyarakat sebaiknya Pak Jokowi juga mengoptimalkan sumber-sumber yang ada di masyarakat untuk menjadi PR (Public Relations)-nya dia,” kata Dr. Evie.

Pembicara lain, peneliti dan penulis buku-buku politik Fachry Ali, MA, PhD mengatakan bahwa memang ada sesuatu yang salah dengan sistem komunikasi politik dalam sistem kepresidenan Jokowi. Banyak kerancuan yang terjadi. Hal tersebut terutama terbukti dari munculnya sejumlah kontestasi kewibawaan Jokowi, seperti yang terlihat dari permasalahan Jokowi – Mega.

Praktisi media dan anggota Dewan Pers Indonesia Moh. Ridlo Eisy, Ir, M.Si. mengatakan bahwa berbagai permasalahan komunikasi politik diantaranya ada ketidakkompakan antara Jokowi-JK. Disamping itu, banyak informasi tidak benar yang disampaikan ke masyarakat melalui sejumlah media, berupa isu atau hoax.

Dengan demikian, Ridlo mengungkapkan bahwa masyarakat perlu hati-hati dalam menerima informasi. Jangan terlalu cepat menerima dan percaya, apalagi informasi saat ini sangat cepat menyebar melalui media sosial, aplikasi instant messaging, dan media berita online yang belum tentu terdaftar. Bukan hanya itu, informasi yang disampaikan media konvensional seperti koran dan televisi pun belum tentu mutlak kebenarannya.

Wartawan pun banyak mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi lengkap, karena Presiden Jokowi sering melayani wartawan secara door stop. Menurut Ridlo, wawancara door stop memang perlu, tetapi penjelasan yang lebih luas dalam jumpa pers juga diperlukan.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Share this: