Pasangan Suami Istri, Prof. Dedi Rachmadi dan Prof. Efa Laela, Laksanakan Orasi Ilmiah Guru Besar

Prof. Dedi Rachmadi , dr., Sp.A(K), M.Kes., dan Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H. (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 23/04/2015] Setelah dilantik menjadi Guru Besar Unpad pada Januari 2015 lalu, dosen Universitas Padjadjaran yang juga pasangan suami istri melakukan Orasi Ilmiah berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar pada Rabu (22/04) kemarin. Orasi Ilmiah yang dibacakan pada Sidang Terbuka Komisi Guru Besar Senat Universitas Padjadjaran itu digelar di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung.

Prof. Dedi Rachmadi , dr., Sp.A(K), M.Kes.,  dan Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H. (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Prof. Dedi Rachmadi , dr., Sp.A(K), M.Kes., dan Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H. (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Pasangan suami istri tersebut adalah Prof. Dedi Rachmadi , dr., Sp.A(K), M.Kes., dosen Fakultas Kedokteran dan Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum. Pasangan yang dikaruniai dua orang anak dan seorang cucu ini telah mengabdi di Unpad sejak tahun 1980-an. Momen orasi ilmiah ini juga bertepatan dengan ulang tahun pernikahan ke-31 Prof. Dedi Rachmadi dan Prof. Efa Laela.

Prof. Dedi Rachmadi dalam sambutannya mengucapkan, “Saya sampaikan ucapan terima kasih dari hati paling dalam kepada istri tercinta, Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, SH., MH., yang selalu menjadi orang pertama yang mendampingi saya dalam menghadapi berbagai cobaan hidup, dengan doa yang tiada hentinya, disertai kesabaran, pengertian, dan dorongan semangat sehingga jabatan akademik yang sangat terhormat dapat saya capai,” ujar Ketua Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini.

Sementara Prof. Efa Laela mengatakan, “Terima kasih saya sampaikan pada suami tercinta Prof. Dr. Dedi Rachmadi, dr., Sp.A (K), M.Kes atas cinta, kasih sayang, doa, dukungan, pengertian, kepercayaan, serta kesempatan yang diberikan kepada saya selama ini sehingga saya dapat mencapai posisi saat ini,” ujar Ketua Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata PTN Indonesia ini.

Orasi Ilmiah
Pada kesempatan tersebut, Prof. Dedi membacakan Orasi Ilmiah yang berjudul “Pendekatan Diagnosis Komprehensif Sindrom Nefrotik untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Anak”. Prof. Dedi mengungkapkan, saat ini terdapat pergeseran pola penyakit di negara-negara maju termasuk juga di Indonesia, yakni kelompok penyakit infeksi cenderung menurun sedangkan penyakit non-infeksi mengalami peningkatan.

“Salah satu penyakit non-infeksi yang memerlukan perhatian secara serius adalah sindrom nefrotik (SN)”, ujar Prof. Dedi. Perhatian ke arah pergeseran tersebut perlu dilakukan oleh para pemangku kebijakan agar menghasilkan generasi masa depan yang lebih berkualitas.

Prof. Dedi mengungkapkan, usia anak di bawah 14 tahun masih merupakan kelompok penduduk yang sangat besar dan memerlukan perhatian yang lebih besar lagi, karena berbagai penyakit termasuk sindrom nefrotik pada kelompok usia tersebut penanganannya memerlukan waktu yang lama. “Karena penyakitnya bersifat kronis dan cenderung berulang, dan tentu saja akan mengganggu proses belajar,” ujarnya.

Dalam perjalanannya, sindrom nefrotik dapat mengalami komplikasi jangka panjang berupa penyakit kardiovaskular, gangguan psikososial, dan berujung ke gagal ginjal tahap akhir. Hingga saat ini, pengetahuan dan keterampilan penanganan kasus SN etrus ditingkatkan berdasarkan hasil penelitian mutakhir oleh para dokter agar menghasilkan generasi masa depan yang berkualitas.

Sementara itu, Prof Efa membacakan orasi ilmiahnya yang berjudul “Pembaruan Hukum Acara Perdata Suatu Keniscayaan dalam Penegakan Hukum Menuju Ketertiban Hukum”. Menurutnya, pembaruan hukum hendaknya tidak hanya terjadi dalam bidang hukum materiil saja, melainkan juga dalam bidang hukum formal, dalam hal ini hukum acara perdata.

“Topik ini penting untuk dibahas mengingat sampai saat ini pengaturan tentang cara menyelesaikan sengketa perdata melalui pengadilan masih didasarkan pada peraturan-peraturan yang merupakan produk kolonial Belanda, serta beberapa peraturan produk nasional tentang cara berperkara ke pengadilan yang tersebar secara parsial, sehingga sampai saat ini hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia masih bersifat pluralisme,” tutur Prof. Efa.

Menurut Prof. Efa, strategi pembentukan hukum nasional di bidang perdata saat ini adalah kodifikasi parsial, yaitu pembentukan hukum banyak dilakukan secara parsial dengan cara hanya mengatur bagian-bagian tertentu (tidak menyeluruh) sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bahkan, adakalanya dalam pengaturan hukum materiil disertai pula dengan pengaturan hukum acaranya. Hal ini dapat menimbulkan disharmonisasi diantara berbagai peraturan yang ada, serta terjadinya tumpang tindih antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, atau timbulnya multi tafsir atas suatu peraturan. Keadaan ini dapat menimbulkan ketidaktertibkan hukum.

Prof Efa pun menegaskan, pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata menjadi Undang-Undang perlu segera dilakukan sebagai upaya pembaruan hukum acara perdata nasional. Hal tersebut penting mengingat saat ini belum terlihat adanya kepastian hukum, karena hukum acara perdata yang sekarang berlaku juga bersifat pluralisme.

“Dengan diundangkannya RUU Hukum Acara Perdata makan akan dimiliki ketentuan tentang hukum acara perdata yang terkodifikasi dan unifikasi, sehingga kepastian hukum dan ketertiban hukum dapat terwujud,” tutur Prof. Efa.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Share this: