Hukum Kewarganegaraan dan Potensi Ekonomi Diaspora Indonesia

Para narasumber dan moderator Seminar “Mencari Solusi Diaspora Indonesia dalam Politik Kewarganegaraan Indonesia: Dwi Kewarganegaraan Atau Alternatif Lain?” di Auditorium Gedung Mochtar Kusumaatmadja, kampus FH Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Selasa (24/02). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 24/02/2015] Sebagai negara besar, Indonesia memiliki keberadaan kelompok diaspora yang besar dan tersebar di berbagai negara. Sayangnya masih ada berbagai masalah terkait status kewarganegaraan mereka sehingga potensi dari kelompok ini belum digarap secara serius.

Para narasumber dan moderator Seminar “Mencari Solusi Diaspora Indonesia dalam Politik Kewarganegaraan Indonesia: Dwi Kewarganegaraan Atau Alternatif Lain?” di Auditorium Gedung Mochtar Kusumaatmadja, kampus FH Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Selasa (24/02). (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Para narasumber dan moderator Seminar “Mencari Solusi Diaspora Indonesia dalam Politik Kewarganegaraan Indonesia: Dwi Kewarganegaraan Atau Alternatif Lain?” di Auditorium Gedung Mochtar Kusumaatmadja, kampus FH Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Selasa (24/02). (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Istilah “Diaspora” mulanya berasal dari Bahasa Yunani Kuno yang merujuk pada arti penyebaran atau penaburan benih. Dalam konteks Indonesia, diaspora berarti orang yang tinggal di luar negeri yang berketurunan Indonesia, hingga meluas menjadi para perantau yang meninggalkan Indonesia untuk bermigrasi ke negara lain, baik untuk urusan bekerja, bisnis, ataupun tinggal karena alasan tertentu.

Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL., persoalan status hukum bagi kelompok diaspora pada dasarnya bermula sejak berkembangnya paham nasionalisme dan kebangsaan dari suatu negara. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya istilah internasionalisme dan globalisme, hingga mewujud institusionalisasi, seperti munculnya wilayah regional ASEAN atau Uni Eropa.

“Selama tidak ada batas negara, diaspora itu tidak akan ada,” ungkap Prof. Bagir saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional “Mencari Solusi Diaspora Indonesia dalam Politik Kewarganegaraan Indonesia: Dwi Kewarganegaraan Atau Alternatif Lain?”, Selasa (24/02) di Auditorium Gedung Mochtar Kusumaatmadja, kampus FH Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung.

Seminar ini digelar oleh Paguyuban Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Unpad (Paham FH Unpad) bekerja sama dengan Yayasan Diaspora Indonesia. Selain Prof. Bagir, pembicara yang hadir yaitu Prof. Dr. Koerniatmanto Soetoprawiro, SH, MH (Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan), dan Dra. Alida Handau Lampe Guyer, MSi (praktisi ekonomi).

Menurut Prof. Bagir, Indonesia menganut paham Kewarganegaraan Tunggal berdasarkan Hukum Kewarganegaraan. Munculnya UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang salah satu butirnya menerangkan pembolehan memiliki Dwi Kewarganegaraan bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan campur antar bangsa hingga batas usia 18 tahun ditambah 3 tahun masa transisi ini merupakan pengecualian dari paham Kewarganegaraan Tunggal yang dianut dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia.

Namun, Undang-undang ini diyakini masih belum ajeg karena masih belum memayungi harapan bagi kelompok diaspora. Padahal, Prof. Bagir menilai Kelompok diaspora ada beberapa manfaat yang dihasilkan jika ditinjau dari sudut praktis.

“Jika ditinjau dari tatanan politik, saya yakin diaspora juga tidak akan berpengaruh banyak. Dari segi ekonomi, Dwi Kewarganegaraan juga mungkin akan bermanfaat dan tetap ada kompensasinya dengan tatanan politik lain,” kata Prof. Bagir.

Pendapat ini dibenarkan oleh Alida. Sebagai praktisi ekonomi, ia melihat banyak keuntungan yang didapat Indonesia melalui kelompok diaspora, khususnya dari sektor remitansi atau pengiriman devisa ke dalam negeri.

Alida mencontohkan remitansi negara Filipina yang sangat tinggi, yakni sebesar 25 miliar dolar per tahun. Remitansi ini diperoleh dari kelompok diaspora. Filipina sendiri menetapkan paham Dwi Kewarganegaraan.

“Kelompok diaspora mereka hanya sebesar 2-3 juta jiwa. Diaspora Indonesia 3 kali lipat lebih tinggi dari mereka, namun remitansinya hanya 7,1 miliar dolar per tahun,” ujar Alida yang juga pendiri Alida Centre.

Alida yang ikut memperjuangkan lahirnya UU No. 12 Tahun 2006 ini mengungkapkan, jika Indonesia mampu menggali potensi ekonomi dari diaspora, maka remitansinya diharapkan akan meningkat 78% atau menjadi 40-60 miliar dolar/tahun.

“Yang diinginkan adalah fasilitasi/pemberi kebijaksaan yang tepat agar diaspora ini dapat memberi maksimal,” ujar Alida.*

Laporan oleh: Arief Maulana/ eh

Share this: