Prof. Rizal Djalil, “Perbaikan Pengelolaan Dana Partai Politik Akan Hasilkan Politisi yang Profesional”

Prof. Rizal Djalil (Foto oleh: Tedi Yusup)*

[Unpad.ac.id, 4/12/2014] Pendanaan partai politik menjadi persoalan yang makin banyak diperbincangkan. Hal ini dipicu oleh banyaknya tersangka dan terpidana kasus korupsi yang berasal dari kalangan politisi. Terjeratnya para politisi dalam kasus korupsi menandakan bahwa kebutuhan pembiayaan politik mereka dilakukan dengan cara melanggar hukum.

Prof. Rizal Djalil (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Prof. Rizal Djalil (Foto oleh: Tedi Yusup)*

Hal tersebut disampaikan Prof. Rizal Djalil saat menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Akuntabilitas Dana politik di Indonesia, Konsep dan Implementasi” berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Akuntabilitas Politik Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad. Acara tersebut digelar di Bale Sawala, Gedung Rektorat Unpad, kampus Jatinangor, Kamis (4/12).

Menurutnya, beban-beban keuangan di kalangan politisi modern inilah yang memerlukan pembahasan lebih banyak di kalangan akademisi. “Bagaimanapun, soal keuangan di kalangan politisi dan partai-partai politik tidak pernah disentuh,” ujarnya.

Jika diperhatikan secara detil, menurut Prof. Rizal, korupsi yang dilakukan kalangan politisi sama sekali bukan diperuntukkan bagi pendanaan partai politik. Unsur memperkaya diri sendiri lebih dominan.

Prof. Rizal mengatakan, sesempurna apapun sistem yang dibuat dalam mengatur soal pendanaan partai politik ini, tetap saja terdapat ruang yang samar-samar. Area pendanaan partai politik bagaikan aliran darah di seluruh tubuh manusia, yakni bercabang-cabang dari aliran yang besar sampai kecil.

“Tidak semua hal bisa disampaikan secara terang-terangan, mengingat faktanya dana politik bukanlah anggaran debet dan kredit biasa, dengan ketentuan pekerjaan yang jelas, lalu hasil yang juga jelas,” tutur Prof. Rizal.

Mantan Ketua BPK ini menuturkan bahwa salah satu unsur penting dalam rangkaian Pemilu adalah menyangkut masalah pendanaan politik. Apalagi, selain bertujuan untuk menjalankan amanat negara dan konstitusi, tentu para kontestan Pemilu dan Pilpres memerlukan kekuasaan untuk kepentingan kelompok, golongan, dan partai politik masing-masing. Akhirnya, ujar Prof. Rizal, banyak partai politik yang kehilangan idealisme dan ideologi yang semula hendak diperjuangkan.

Prof. Rizal menjelaskan, sistem di Indonesia sama sekali tidak mengenal pendanaan penuh partai politik dari anggota, ataupun dari negara. Di luar itu, terdapat pendanaan dari pihak ketiga, baik perseorangan ataupun badan usaha, itupun jumlahnya dibatasi. Pemerintah hanya memberikan anggaran terbatas kepada partai-partai politik. “Keadaan ini memicu politisi mengambil jalan pintas, yakni mencari pembiayaan politik lewat jalan yang keliru,” ujar Prof. Rizal.

Untuk mengatasi keadaan tersebut, Prof Rizal mengatakan tentang perlunya terobosan-terobosan penting dalam hal pendanaan politik, baik terkait dengan partai politik, maupun anggotanya yang terlibat dalam proses politik.

Terobosan diantaranya dilakukan dengan mempelajari pendanaan politik di negara lain. Namun, Indonesia memiliki pengalaman yang berbeda di bidang politik dan pemerintahan dibandingkan dengan negara lain. Dengan demikian, dalam mengadopsi sistem yang ada di negara-negara lain, diperlukan penyesuaian dengan pengalaman Indonesia sendiri.

Beberapa pemikiran yang pernah muncul antara lain, partai politik diperbolehkan memiliki badan usaha secara resmi. Selama ini, partai politik dilarang memiliki badan usaha dan saham dalam badan usaha tertentu. Kedua, partai politik dapat menggunakan atau memanfaatkan dana negara baik melalui proyek APBN yang diperuntukkan bagi fasilitas kepartaian, hibah, dan bantuan sosial. Jumlah bantuan ini juga dibatasi, serta transparan dalam penggunaan atau peruntukkannya.

Ketiga, pemerintah melalui persetujuan parlemen meningkatkan jumlah subsidi resmi yang tergolong sangat kecil. Peningkatan subsidi negara bisa diberikan dalam peningkatan anggaran per suara yang kini hanya Rp 108,00 per suara. Keempat, pemerintah melakukan subsidi dalam bentuk lainnya, bukan hanya terbatas kepada operasional kantor dan staf melainkan juga untuk anggaran kegiatan.

Kelima, sumbangan swasta tidak perlu dibatasi dari sisi jumlahnya. Tentunya hal ini perlu dengan syarat pembatasan pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan bersifat eksternal bagi partai, terutama menyangkut pembatasan pengeluaran saat masa kampanye. Dan keenam, negara memberikan pembiayaan yang memadai untuk para staf ahli yang mendampingi legislator terpilih.

“Perbaikan demi perbaikan itu pada gilirannya akan membuka kepada penguatan kualitas demokrasi di Indonesia yang semakin modern ini, sekaligus juga memberi pengaruh kepada kualitas politisi yang lahir. Apabila pengelolaan dana partai politik semakin baik, maka politisi yang melakukannya juga semakin profesional.”*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Share this: