Regulasi Indonesia Masih Setengah Hati dalam Upaya Mengurangi Jumlah Perokok

Centurion C. Priyatna, Ph.D (Foto oleh: Artanti H)*

[Unpad.ac.id, 1/05/2014] Saat ini, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah pasar terbesar bagi para produsen rokok. Salah satu sebabnya adalah masih belum efektif regulasi pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.

Centurion C. Priyatna, Ph.D (Foto oleh: Artanti H)*
Centurion C. Priyatna, Ph.D (Foto oleh: Artanti H)*

“Yang paling penting itu bukan kampanye anti rokok yang bentuknya iklan, tapi regulasi. Saat ini di negara kita regulasinya masih setengah hati padahal yang paling efektif itu regulasi sepenuh hati untuk stop merokok dan itu terbukti di sejumlah negara,” tutur Centurion C. Priyatna, Ph.D. saat menjadi pembicara pada Kuliah Umum “Identity, Middle Class, and Smoking Culture” yang dilaksanakan di Aula Gedung D Lantai 3 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, Jatinangor, Rabu (30/04).

Menurutnya, penyebab Indonesia masih menerapkan regulasi “setengah hati” adalah karena industri rokok menghasilkan devisa dengan jumlah yang sangat besar pertahunnya. Selain itu, industri rokok juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak warga.

Sementara di negara lain, Australia misalnya, pemerintah menetapkan harga rokok yang sangat tinggi dan peraturan  dilarang merokok di hampir setiap area. Selain itu, packaging rokok yang tidak menarik dan cenderung menakutkan dengan gambar berbagai penyakit akibat rokok juga ikut berperan dalam menekan angka jumlah perokok.

Dalam kesempatan tersebut, Centurion juga mengatakan bahwa para produsen rokok ini kebanyakan menyasar konsumen middle class. Di Indonesia sendiri orang yang berada pada middle class sangat besar jumlahnya, yakni mencapai 48% dari jumlah populasi. “Middle class dianggap sebagai pasar yang paling potensial, termasuk untuk rokok,” tuturnya.

Iklan rokok yang ditayangkan pun merupakan representasi middle class yang memang terus mengalami perubahan setiap tahunnya. Perubahan yang dimaksud diantaranya adalah perubahan perilaku, kebiasaan, dan tren yang berkembang. Iklan rokok pun menyesuaikan hal tersebut sesuai dengan pasar yang disasarnya.

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad ini juga mengungkapkan bahwa kebanyakan iklan rokok dibuat dengan maksud sebagai diferensiasi produk, bukan sebagai bentuk ajakan untuk merokok. Iklan rokok dibuat dengan menawarkan life style, bukan produk rokok itu sendiri. Dengan demikian, sering disebut bahwa rokok menunjukkan identitas seseorang. Seseorang yang merokok dengan merek “A” akan menunjukkan identitas yang berbeda dengan orang yang merokok merek “B”.

“Iklan dibuat untuk eksistensi reminding audience about the product, juga untuk diferensiasi, menawarkan yang berbeda. Biasanya perokok sangat setia dengan brand­-nya masing-masing,” ujar lulusan Monash University ini.

Acara yang diselenggarakan oleh Departemen Susastra dan Kajian Budaya FIB Unpad ini dibuka oleh Wakil Dekan I FIB Unpad, Dr. Mumuh Muhsin Zakaria, M. Hum, turut dihadiri pula oleh Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerja Sama Unpad, Dr. med. Setiawan, dr. dan Ketua Departemen Ilmu Susastra dan Kajian Budaya FIB Unpad, Aquarini Priyatna, M.A., M.Hum.,PhD. Acara dimoderatori oleh dosen Sastra Inggris FIB Unpad, Rasus Budhyono, M.Hum. *

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh *

Share this: