Mencari Rumusan Indikator Kesejahteraan Buruh di Indonesia

Para Pembicara dalam Diskusi Kebangsaan bertema “Komitmen Negara dan Swasta dalam Mewujudkan Kesejahteraan Buruh/Pekerja” di LPPM Unpad. (Foto oleh: Arief Maulana)*

[Unpad.ac.id, 28/04/2014] Kondisi buruh di Indonesia belum bisa dikatakan sejahtera. Pada peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh setiap tanggal 1 Mei, para buruh di Indonesia selalu menyuarakan peningkatan kesejahteraan. Namun, sampai saat ini, pemenuhan tuntutan tersebut masih belum dirasakan.

Para Pembicara dalam Diskusi Kebangsaan bertema “Komitmen Negara dan Swasta dalam Mewujudkan Kesejahteraan Buruh/Pekerja” di LPPM Unpad. (Foto oleh: Arief Maulana)*
Para Pembicara dalam Diskusi Kebangsaan bertema “Komitmen Negara dan Swasta dalam Mewujudkan Kesejahteraan Buruh/Pekerja” di LPPM Unpad. (Foto oleh: Arief Maulana)*

“Setiap tahun kami mengusahakan kesejahteraan kepada pemerintah. Kenapa pemerintah? Karena regulasi yang dibuat pemerintah nyatanya malah memiskinkan buruh,” tutur Sri Krisnawati dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) Wilayah Jawa Barat dalam Diskusi Kebangsaan Memperingati Hari Buruh Internasional bertema “Komitmen Negara dan Swasta dalam Mewujudkan Kesejahteraan Buruh/Pekerja”, Senin (28/04) di Gedung LPPM Unpad, Jalan Banda No. 40 Bandung.

Diskusi yang digelar oleh Puslitbang Gender dan Anak (P3GA) LPPM Unpad ini menghadirkan 5 pembicara, yaitu Iwan Kusnawan (Kepala Kanwil BPJS Ketenagakerjaan Jabar), P. Saragih (Apindo Jabar), Cecep Heri (BPJS Kesehatan Jawa Barat), Sri Krisnawati (SPN Jabar) dan Agus Pratiwi, S.H., LLM., (dosen Fakultas Hukum Unpad).

Sri mengungkapkan, kenaikan upah buruh selalu dibayangi dengan kenaikan harga bahan pokok. Kondisi ini menyebabkan kenaikan upah tidak berpotensi meningkatkan kesejahteraan sehingga para buruh mau tidak mau turun ke jalan menuntut pemerintah membuat regulasi yang tidak membebankan.

Terkait dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk sektor pekerja, Sri menilai program tersebut belum sepenuhnya bisa dirasakan para buruh. Menurutnya, dalam UU JKN, iuran untuk program tersebut nyatanya diambil dari upah buruh sebesar 0,5 %.

“Saya menilai JKN ini sifatnya asuransi, kalau tidak bayar ya tidak akan dilayani. Kami (buruh) berprinsip JKN itu gratis,” ucap Sri.

Dalam praktik di lapangan, Sri menemukan banyak kasus pelayanan JKN belum sepenuhnya maksimal. Hal itu pun diakui oleh Cecep Heri. Menurutnya, program JKN memang belum sepenuhnya berjalan maksimal, karena masih banyak regulasi dari pemerintah yang belum siap.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan selaku pihak penyelenggara JKN sektor tenaga kerja sendiri mendata, jumlah tenaga kerja formal yang mendaftar di BPJS baru sekitar 12 juta dari angka 40 juta orang. Sementara jumlah tenaga kerja informal baru sekitar 2,5 juta dari 70 juta orang.

Lalu, bagaimana aspek kesejahteraan buruh di mata pengusaha? Saragih dari Apindo Jabar mengungkapkan, sulit untuk mendefinisikan tingkat kesejahteraan yang layak bagi para buruh selama belum ada implementasi regulasi yang pas. Oleh karena itu, Saragih pun meminta LPPM Unpad untuk lakukan penelitian terkait kesejahteraan para buruh.

“Kita berharap LPPM Unpad lakukan penelitian mengenai indikator kesejahteraan buruh. Dan penelitian ini bukan sekadar literatur saja, tapi harus benar-benar turun,” tegas Saragih.*

Laporan oleh: Arief Maulana / eh *

Share this: