[Unpad.ac.id, 31/07/2013] Korupsi seolah sudah menjadi budaya di Indonesia. Diyakini telah ada sejak zaman kerajaan, membuat Indonesia diposisikan sebagai negara dengan tindak korupsi terbesar di dunia oleh sejumlah lembaga antikorupsi internasional.

Logo Unpad *

Hal itulah yang dikemukakan oleh Aceng Abdullah, Drs., M.Si., dalam sidang terbuka promosi doktornya di Ruang Sidang Promosi Doktor Gedung Pascasarjana Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Rabu (31/07). Dalam kesempatan tersebut, Aceng mempresentasikan disertasinya yang berjudul “Komunikasi Korupsi: Studi Etnografi Komunikasi Tentang Bahasa yang Digunakan dalam Aktivitas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”.

Menurut Aceng yang juga dosen Fikom Unpad, sebagai bagian dari budaya, korupsi dalam praktiknya memiliki “bahasa” tersendiri yang digunakan para koruptor ketika berinteraksi. Hal tersebut diperoleh dari observasi, pengamatan terhadap media, serta wawancara dengan beberapa informan yang dinilai terlibat dalam suatu tindak korupsi.

“Penggunaan bahasa korupsi itu bersifat individual, tidak kolektif dan tidak bisa disatukan,” ujar Aceng.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, ada beberapa deskripsi penggunaan bahasa korupsi dalam tindak korupsi. Deskripsi tersebut diantaranya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang tidak benar, sebagai pertahanan diri, mendapatkan akses kemudahan dalam proses administrasi publik, jalan pintas dalam pengurusan suatu prosedur, dan juga sebagai pencitraan diri.

Penelitian yang dilakukan olehnya pun menghasilkan adanya kesamaan pola dalam kegiatan komunikasi korupsi, berupa karakteristik dari komunikasi korupsi. Ada 11 karakteristik yang dirumuskan Aceng, yakni melibatkan aparat pemerintah, menjual nama pejabat, pintar bersandiwara, menggunakan aneka istilah, penuh kehati-hatian, kesantunan dalam berbahasa, mengesankan sulitnya prosedur, kemampuan berbahasa, menguasai aturan, memanfaatkan media massa, serta identik dengan suatu momen tertentu.

“Seperti halnya suatu komunitas bahasa lainnya, bahasa korupsi juga kaya akan istilah/simbol. Kita sering mendengar ada istilah ‘uang administrasi’, ‘bantuan’, ‘shodaqoh’, hingga ‘uang damai’ dalam suatu tindak korupsi,” tegas Aceng.

Sementara itu, alur bahasa korupsi diawali dari motif seseorang melakukan korupsi, dilanjutkan dengan interaksi korupsi yang ujung-ujungnya melahirkan suatu kemampuan berbahasa.

“Bahasa korupsi inilah yang digunakan untuk mencapai tujuan atau goal yang diinginkan oleh seorang koruptor,” tandas Aceng.

Disertasi tersebut dipresentasikan di hadapan tim promotor yaitu Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Engkus Kuswarno, M.S., Dr. Betty RF Soemirat, M.S. Adapun tim penelaah dalam sidang tersebut terdiri dari Prof. Dr. Nina W. Syamsudin, M.S., Prof. Dr. Dadang Suganda, M.Hum., dan Dr. Eni Maryani, M.Si., serta representasi guru besar oleh Prof. Dr. Ir. H. Mahfud Arifin, M.S.

Aceng pun berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi dengan yudisium “Sangat Memuaskan”.*

Laporan oleh: Maulana / eh*

Share this: